Setidaknya ada 14 pasal dalam Undang-Undang Badan Pelayanan Jaminan Sosial (UU BPJS) yang ternyata belum selesai dibahas tapi dipaksakan untuk disepakati dan disahkan dalam sidang Paripurna DPR, Selasa (28/10) lalu.
Berdasarkan dokumen yang didapat SH, 14 pasal yang masih bermasalah tersebut menyangkut peleburan, pengalihan aset, pengawasan eksternal, sanksi pada pemberi kerja, dan sebagainya.
Penelusuran SH juga menunjukkan tim yang beranggotakan eks pansus RUU BPJS bersama pemerintah akan melanjutkan pembahasan dari 4-8 November 2011 di Hotel Aryaduta, Jakarta.
Namun, Kepala Biro Asuransi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) Isa Rachma Tarwata mengatakan, rapat di Hotel Aryaduta bukan untuk melakukan pembahasan, namun sinkronisasi pasal dan ayat.
“Bukan pembahasan namanya, tapi sinkronisasi pasal-pasal, yaitu yang disetujui dituangkan dengan baik dalam pasal dan ayat-ayat,” katanya.
Ia memastikan tidak ada 14 pasal yang belum selesai dibahas DPR dan pemerintahan. Semuanya sudah disepakati, tinggal mengatur pasal-pasal saja. “Tunggu saja setelah selesai baru kami akan bagikan,” paparnya.
Pengakuan senada dikemukakan Ketua DPR Marzuki Alie. Ia mengatakan, semua materi sudah selesai ketika dibawa dalam rapat paripurna.
Pembahasan yang sedang berlangsung di Hotel Aryaduta saat ini hanya untuk melakukan sinkronisasi. Sudah disepakati untuk dilakukan sinkronisasi agar antara pasal yang satu dan lainnya tidak bertentangan. “Itu sudah disepakati di paripurna terakhir,” ujarnya.
Presiden Jangan Tanda Tangan
Namun ahli hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan, ada dua masalah besar yang terkandung dalam RUU BPJS yang telah disetujui DPR dan pemerintah menjadi UU dalam rapat paripurna 28 Oktober lalu.
Persoalan pertama terkait dengan tata cara pembentukan UU ini, sedangkan persoalan kedua terkait dengan konseptualisasi. “Tentang masalah pertama, bila benar begitu jalan pikiran mereka, maka pertanyaan yang muncul adalah dengan dasar hukum apa keabsahan pembahasan lanjutan oleh eks pansus BPJS itu?” katanya.
Saat ini, pembahasan dilakukan atas nama eks pansus BPJS. Ini menunjukan, Pansus BPJS itu sudah bubar atau tidak ada lagi karena masa kerja mereka telah diakhiri rapat paripurna pengesahan RUU BPJS.
Ia menjelaskan, prosedur pembentukan UU diawali dengan paripurna awal yang substansinya adalah penegasan persetujuan fraksi-fraksi. Jika RUU itu disetujui RUU, baru dibahas, kemudian dibentuk panja dan pansus.
“Setelah panja selesai membahas secara konsep, pasal demi pasal, ayat demi ayat, huruf demi huruf, dan semuanya diseujui bersama antara anggota panja itu dengan pemerintah, barulah dibawa ke paripurna pengesahan,” katanya.
Paripurna pengesahan bermakna semua hal yang ada dalam RUU yang telah dibahas itu telah disetujui bersama antara wakil pemerintah dengan wakil fraksi di panja. Dengan demikian, paripurna pengesahan adalah pengesahan atas semua hal (konsep, pasal demi pasal, huruf demi huruf, ayat demi ayat dalam RUU) itu menjadi UU.
“Sekali lagi bila begitu argumentasi mereka, maka tidak ada ilmu hukum tata negara yang tidak mengualifisir cara pembentukan UU yang tidak memenuhi syarat norma pembentukan UU. Ada kekeliruan dalam prosedur pembentukan UU ini,” ungkapnya.
Sementara itu, terkait sanksi, juga memiliki persoalan konstitusional. Secara konstitusional, jaminan sosial kepada warga negara adalah kewajiban negara. Tidak ada konsep dalam ilmu hukum tentang kewajiban yang memunculkan keharusan bagi subjek hukum.
“Subjek hukum yang ditujukan oleh kewajiban itu seharusnya pasif, karena dia hanya menerima wujud tindakan hukum dari subjek hukum yang dibebani kewajiban itu,” katanya.
Padahal, dalam RUU BPJS yang telah disahkan ini mengharuskan atau mewajibkan warga negara melakukan tindakan hukum tertentu berupa membayar iuran. “Pada titik inilah letak kekeliruan konseptuasl konstitusional dari RUU ini,” imbuhnya.
Ia menambahkan, secara praktis UU ini sangat bermasalah. Oleh karena itu, jalan keluarnya adalah presiden jangan menandatangani RUU ini. Ini karena UU ini mengandung dua kekeliruan fundamental, kekeliruan cara (prosedur pembentukan), dan kekeliruan konsep konstitusionalnya.