28 Oktober lalu DPR mengesahkan Rancangan Undang-undang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial BPJS menjadi Undang-undang. Undang-undang ini berfungsi memperkuat Sistem Jaminan Sosial Nasional 2004. Namun pasca ketuk palu di gedung senayan, banyak kalangan mempertanyakan keabsahaan Undang-undang ini, benarkah ada yang tidak beres dari pengesahan undang-undang BPJS? Apakah ini buntut dari pro-kontra hebat yang menyebabkan UU ini tertunda bertahun-tahun? Simak laporan yang disusun reporter KBR68H Rony Rahmatha berikut ini.
Tarik Ulur UU BPJS
Wakil rakyat di gedung DPR akhir Oktober lalu mengambil kata sepakat untuk pengesahan RUU BPJS menjadi Undang-Undang. Pengesahan ditandai ketuk palu oleh pemimpinan sidang Pramono Anung.
Salah seorang wakil rakyat yang sangat getol memperjuangkan RUU BPJS Rieke Dyah Pitaloka menitikkan air mata usai pimpinan sidang mengetuk palu disahkannya RUU BPJS menjadi Undang-Undang. Namun baginya perjuangan BPJS belum berakhir.
“Januari 2014 sama berubah badan hukumnya. Tapi operasionalnya dia Juli 2015 persiapan aja. Tidak masalah yang penting terjadi audit sebelum pemilu 2014. Sehingga indikasi-indikasi akan dipergunakan untuk kepentingan politik tertentu bisa kita antisipasi, bisa kita kontrol bersama. Perlu menunggu 2014 untuk diauditnya? Ia dong, pasti sebelum dia berubah sebagai badan hukum publik dia sudah diaudit.”
Massa KAJS berunjuk rasa depan gedung DPR
Sambutan yang tidak kalah riuh datang dari para pengunjuk rasa di depan Gedung DPR. Unjuk rasa dilakukan oleh Komite Aksi Jaminan Sosial. Mereka terdiri dari Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, FKI SPSI, dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia serta puluhan mahasiswa. Sekjen Komite Aksi Jaminan Sosial Said Iqbal.
“Bagi Komite Aksi Jaminan Sosial, ini adalah sebuah keputusan DPR dan Pemerintah yang sangat fenomenal. Negara mulai 1 Januari 2014 ikut bertanggung jawab dalam ruang publik dalam bidang kesehatan, dalam bentuk jaminan kesehatan dan dalam bidang pensiun untuk jaminan pensiun di BPJS ketenagakerjaan. Hal-hal yang perlu kita kawal agar pasal-pasal yang tadi akan disinkronisasi tidak menyimpang dari putusan DPR, Pansusnya dan Tim 8 menteri.”
Sebelum diundangkan, pemerintah, khususnya Kementerian BUMN pada awalnya menolak kehendak DPR untuk melebur 4 BUMN dalam satu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. BUMN itu adalah Jamsostek, Taspen, Asabri dan Askes. Akhirnya disepakati BPJS dibagi dalam 2 bentuk. Ketua Pansus BPJS, Nizar Shihab.
“BPJS 1 khusus menangani kesehatan sedangkan BPJS 2 menangani kecelakaan kerja, kematian, jaminan hari tua dan pensiun. Motor utama BPJS 1 adalah PT Askes, motor utama BPJS 2 adalah PT Jamsostek. Sedangkan Taspen dan Asabri itu akan diatur melalui peraturan pemerintah. Jadi titik temunya sudah ada kesepahaman antara pemerintah DPR dan Pemerintah.”
Sejatinya Undang-undang BPJS bakal mengikat pemerintah untuk menjalankan kewajiban mensejahterakan rakyat. Dengan demikian negara wajib menyelenggarakan jaminan sosial dengan memprioritaskan warga negera Indonesia, khususnya rakyat miskin. Hal ini sesuai UU Sistem Jaminan Sosial Nasional yang sudah disahkan 2004 lalu sebagai roh dari BPJS.
Namun Undang-undang SJSN yang akan dijalankan melalui BPJS tidak mengisyaratkan kewajiban pemerintah mengalokasikan anggaran negara untuk membiayai jaminan sosial bagi rakyat. Inilah kekhawatiran yang muncul di sebagian kalangan buruh yang menolak BPJS. Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Muhammad Satya.
“Seluruh SP-SB itu sangat mendukung, karena itu amanah konstitusi. Cuma persoalan intinya, alokasi pembiayaan bukan dari BPJS yang sudah ada. Dia harus menyiapkan alokasi dari APBN, pemerintah itu sendiri, sesuai dengan kewajiban pemerintah. Itu aja. Sekarang ini, nyatanya tadinya mau dilebur artinya apa, mau diambil dari dana Jamsostek itu yang mau kita kawal. Jadi bukannya nggak setuju kita untuk rakyat miskin, amanat konstitusi kok.”
Belum lagi kekhawatiran adanya penolakan dari pengusaha, lanjut Satya.
“Perlu diwaspadai dengan 2 BPJS yang melayani pekerja swasta, dikuatirkan pengusaha enggan mendaftarkan pekerja dan membayarkan iuran kepada kedua lembaga. Ini masih lanjut ya, perlu diwaspadai pengusaha menolak pembayaran iuran pensiun, karena pengusaha menganggap iuran pensiun akan membebani biaya operasional perusahaan. Kita sudah prediksi ke sana.”
Ketua SPSI M Satya (kiri) Menjelaskan Isi UU BPJS
Sementara Sekretaris Umum Federasi Serikat Pekerja Nasional Joko Heryanto mengatakan, pihaknya sepakat dengan niat pemerintah memperjuangan kesejahteraan rakyat. Tapi cara pemerintah dinilai salah. SJSN dan BPJS bakal mengurangi nilai aset dan keuntungan para buruh yang menjadi anggota Jamsostek. Jumlah premi yang selama ini dibayarkan buruh anggota Jamsostek saja bernilai Rp 200 triliun.
“Ditransformasikannya Astek menjadi Jamsostek saja sampai sekarang menyisakan masalah. Nah kita yakin, nanti juga banyak sekali harta-harta PT Jamsostek yang akan berantakan, tidak karu-karuan yang tidak dikonsolidasi. Karena teorinya, tidak ada tata cara hukum yang bisa mengawasinya. Teori, bagaimana dari Jamsostek ini diserahkan secara baik ke BPJS ini dan aman. Yang aman pasti JHT saja, Jaminan Hari Tua dijamin aman, tapi JHT dijamin aman pun harus ada yang bisa menjawab. Hanya itu logikanya, logikanya aman.”
Sebelumnya pemerintah pernah melakukan peleburan serupa terhadap beberapa bank melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Namun proses peleburan masih menyisakan polemik terkait nilai aset. Pengamat Hukum dan Politik Margaritho menyebutkan sindrom ini akan terulang saat transformasi Askes, Taspen, Asabri dan Jamsostek.
“Pada waktu BPPN dulu menyehatkan perbankan, asset-aset orang-orang obligor-obligor itu dibilang begini-begini. Ada nilainya sekian-sekian. Tapi dalam rilnya, nilai itu rata-rata menjadi kurang. Jadi siapa yang bisa memastikan bahwa yang sekarang dibilang 200 triliun pada saatnya bukan 200 triliun. Di titik itulah saat mencurigai, bukan tidak mungkin sindrom BPPN itu terjadi pada tahap transformasi BPJSN tahap pertama 2014.”
Spanduk Massa KAJS Dukung UU BPJS
Tapi salah seorang anggota panitia khusus pembahasan UU BPJS, Rieke Dyah Pitaloka yakin kebijakan BPJS ini membantu kesejahteraan rakyat.
“Dalam undang-undang SJSN dikatakan bahwa keempat badan penyelenggara Jamsostek, Taspen, Askes dan Asabri selambat-lambatnya bisa menyesuaikan diri 5 tahun setelah diundangkan. Itu berakhir pada 19 Oktober 2009. Tapi tidak terjadi, maka atas inisiatif DPR karena kami tidak hanya PDI Perjuangan tapi seluruh fraksi merasa ini sebuah undang-undang yang penting. Apalagi kami di Komisi IX tahu betul persoalan pasien ditolak di rumah sakit sudah menjadi makanan sehari-hari. Artinya memang harus cepat dilaksanakan, jadi butuh penyelenggara untuk badan jaminan sosial yang sifatnya nirlaba itu.”
Rieke Dyah Pitaloka dan Anggota Pansus UU BPJS lainnya boleh berlega hati setelah diundangkannya RUU BPJS. Tapi di balik itu semua ada kalangan yang menilai UU itu cacat hukum bahkan sebagian dari mereka akan menggugat undang-undang yang masih seumur jagung tersebut.
Pengesahan BPJS Menyisakan Masalah
Undang-undang BPJS boleh saja telah ketuk palu, tapi pemerintah malam itu melalui Menteri Keuangan Agus Martowardoyo menyisakan catatan terhadap undang-undang ini. Draft undang-undang belum jelas. Menteri keuangan Agus Marto Wardoyo.
“Jadi kami mewakili pemerintah dan mewakili rekan-rekan menteri yang berhalangan ingin menyampaikan. Kami menyambut baik pada hari ini kita bisa menyelasaikan pembahasan tingkat 1 RUU BPJS. Kami memiliki beberapa catatan. Bahwa nanti kalau kita telah menyetujui, kita belum memiliki naskah RUU untuk ditandatangani. Yang kedua, kami sebetulnya ingin tim sinkronisasi dan tim perumus diberikan mandat untuk bisa membuat pasal-pasal ditulis dengan baik. Supaya nantinya tidak menjadi satu kelemahan.”
Kekuatiran Agus Martowardoyo bukan isapan jempol. Pengamat Hukum dan Politik Margaritho terang-terangan menyatakan RUU BPJS cacat hukum.
“Bukankah pada rapat paripurna kemarin itu mereka menyatakan menyetujui RUU ini menjadi UU? Apa artinya itu? Itu artinya pasal demi pasal clear, ayat demi ayat clear, huruf demi huruf clear. Lho kok sekarang sudah disahkan kok dibahas kembali. Gimana ceritanya nih? Tidak ada ilmu hukum tata negara di republik ini yang membenarkan tindakan seperti ini. Di titik ini, saya berpendapat dari prosedur pembentukkan undang-undang ini keliru, tidak sah.”
Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Muhammad Satya menyebut wakil rakyat dan pemerintah melakukan pembodohan publik. Terbukti dengan adanya bukti otentik UU BPJS, terutama penjelasan pasal demi pasal. Semuanya seperti misteri.
“Pertama saya sebagai salah satu ketua di SPSI sangat merasa dibohongi oleh DPR. Ini draft yang disahkan oleh DPR kemarin tanggal 28, ternyata ini masih draf, kok masih ada usulan, kok sudah disahkan. Jadi petanyaan saya, betul-betul ini muatan politisnya sangat tinggi. Sampai sekarang masih dibahas. Artinya apa, ini tergesa-gesa, bagaimana nanti untuk kaum buruh, untuk kaum pekerja. Sejarah republik barangkali saya bicarakanlah, UU BPJS ini yang terburuk pengesahannya.”
Bekas Wakil Ketua Pansus Ferdiansyah mengakui, pengesahan RUU dengan kondisi naskah yang belum selesai sangat tidak lazim. Alasannya, RUU BPJS disahkan 28 Oktober lalu dan naskahnya baru diselesaikan pasca disahkan. Ferdiansyah memaklumi kritik sebagian pihak yang kuatir akan ada penyalahgunaan isi pasal dalam pembahasan lanjutan UU tersebut.
“Sebagai eks pansus bersama anggota eks pansus akan mengawal kembali, harmonisasi dan sinkronisasi UU BPJS. Mudah-mudahan tidak terjadi pencurian ayat atau pasal. Tanggal 4-5 dan 7-8 kami akan mengawal ini”.
Berdasarkan prosedurnya sebuah undang-undang akan berlaku efektif satu bulan sejak disahkan dan setelah ditanda-tangani oleh Presiden. Maka Presiden Susilo Bambang Yuhdoyono merupakan orang yang berkuasa penuh untuk menerima dan menjalankan UU BPJS. Menurut Margariho, agar tidak menjadi blunder di pemerintahannya, SBY disarankan untuk tidak menandatangani UU BPJS.
“Perkara di-impeach atau tidak itu satu soal, tapi begitu dilakukan, tindakan itu sudah merupakan tindakan melanggar hukum dan cukup alasan bagi teman-teman di DPR untuk meng-impeach dia. Supaya dia aman dan tidak dituduh melakukan tindakan perlawanan hukum yang dalam kualifikasi tindakan tercela, maka jangan tandatangan undang-undang itu. Wong udah salah ini.”
Mustofa adalah seorang pensiunan dari kantor BKKBN pusat. Lima tahun sudah dia menikmati masa-masa pensiun. Sekarang umurnya sudah mendekati 62 tahun.
(Kesehariannya setelah pensiun apa sekarang pak?)
“Saya ya tukang ojek, kadang-kadang ngojek, kadang-kadang di warung. Tapi yang jelas bagi saya itu salah satu, akan membantu nasib saya untuk masa tua saya.”
Kini Mustofa juga mengandalkan uang pensiun sejuta rupiah lebih perbulannya. Namun ia mengaku kecewa dengan rencana kebijakan baru tentang dana pensiun. Dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional atau SJSN, terdapat pengurangan manfaat bagi peserta Taspen. Contohnya uang duka.
“Tidak bisa, itu seharusnya kewajiban dari pada pihak BPJS ya untuk menyelesaikan permasalahan. Jadi harus diubah ketentuan itu. Tidak sesuai bagaimana sebetulnya hati nurani para karyawan yang telah pensiun mendapatkan haknya.”
Benarkah UU BPJS akan memberi jaminan perlindungan sosial bagi rakyat?