Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP, Arsul Sani, merespons Menko Polhukam Mahfud Md yang menyebut korupsi di Indonesia makin menjadi-jadi dan menyinggung adanya transaksi di bawah meja di DPR, Mahkamah Agung, bahkan pemerintahan. Arsul menilai Mahfud mengakui bahwa pemerintah gagal dalam memberantas korupsi di Tanah Air.
"Jika Menko Polhukam menyampaikan bahwa korupsi itu kian parah, maka ini berarti sebuah pengakuan dari pemerintah sendiri bahwa jajaran rumpun kekuasaan eksekutif termasuk lembaga-lembaga penegakan hukum terkait tidak berhasil atau gagal melakukan pemberantasan korupsi, baik melalui pencegahan maupun penindakan," kata Arsul kepada wartawan, Minggu (11/6/2023).
"Kegagalan ini bisa diartikan pula sebagai ketidakberhasilan program Pemerintah yang diletakkan dalam Stranas Pemberantasan Korupsi," sambungnya.
Arsul mengatakan secara prinsip, kerja-kerja pemberantasan korupsi pada pencegahan dan penindakan itu tanggung jawab utamanya ada di lembaga-lembaga pemerintahan maupun penegakan hukum. Karena diakui Mahfud, maka Arsul meminta program pencegahan dan penindakan korupsi tersebut dievaluasi secara menyeluruh.
"Oleh karena yang disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD, maka berarti perlu ada overhaul menyeluruh baik di bidang pencegahan maupun penindakan," ucapnya.
Arsul tidak memungkiri jika praktik-praktik korupsi yang terjadi itu berkaitan dengan konflik kepentingan. Namun, ia menilai jika konflik-konflik kepentingan berbuntut perilaku koruptif itu tidak hanya terjadi di parlemen.
"Tidak fair kalau yang disoroti yang di DPR saja. Sebaiknya yang di pemerintahan juga perlu diaudit, yakni mereka-mereka yang menjadi pejabat pemerintahan dan berfungsi sebagai regulator, tapi perusahaan yang terafiliasi dengan dirinya juga menjadi business player. Nah hal-hal ini yang menurut saya tidak kalah besarnya dalam menurunkan IPK kita," ujar Arsul.
Pernyataan Mahfud
Sebelumnya, Mahfud Md mengungkapkan, korupsi di Indonesia makin menjadi-jadi. Mahfud pun menyinggung adanya transaksi di bawah meja di DPR, Mahkamah Agung, bahkan pemerintahan.
Hal itu disampaikan Mahfud dalam HUT Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Mahfud mulanya mengatakan bahwa indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia anjlok pada 2022.
"Di tahun 2022, indeks persepsi korupsi kita terjun dari 38 ke 34. Itu membuat kita kaget. Korupsinya makin menjadi-jadi berarti," kata Mahfud, Minggu (11/6).
Mahfud pun lantas mengundang lembaga-lembaga survei internasional dan nasional untuk mencari tahu penyebab anjloknya indeks persepsi korupsi Indonesia. Disimpulkan, menurut dia, bahwa conflict of interest atau konflik kepentingan menjadi penyebabnya.
Lebih lanjut, Mahfud menuturkan konflik kepentingan itu terjadi di DPR, MA, hingga di birokrat. Konflik kepentingan itu, menurut dia, menyebabkan terjadinya transaksi di balik meja.
"Di DPR terjadi transaksi-transaksi di balik meja, Mahkamah Agung (MA), pengadilan bisa membeli perkara. Di pemerintah, di birokrasi sama," kata Mahfud.
Mahfud mengatakan temuan tersebut mungkin sulit dilihat oleh mata kepala orang Indonesia. Namun hal tersebut terlihat jelas di mata dunia internasional.
"Di DPR ada conflict of interest. Pekerjaan anggota DPR, tapi punya konsultan hukum. Nanti kalau ada masalah, 'tolong dibantu ini, itu'. Dibawa ke pengadilan, pengadilannya korupsi lagi. Sampai hakimnya ditangkap, jaksa ditangkap, polisi ditangkap dan seterusnya," tutur Mahfud.