Anggota DPR RI Dipo Nusantara Pua Upa menyampaikan konfigurasi politik di Majelis Permusyawarakatan Rakyat (MPR) RI mencerminkan keanekaragaman kekuatan komponen bangsa yang idealnya tercermin dalam komposisi Pimpinan MPR RI. Menurutnya, perwakilan setiap fraksi di kursi Pimpinan MPR RI secara tidak langsung menjaga kestabilan nasional.
Demikian disampaikan Dipo usai menghadiri sidang pengujian Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang–Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau UU MD3, di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (22/1/2020).
“Kalau ditinjau sangat bagus karena mewakili seluruh partai politik yang ada di MPR, sehingga kestabilan nasional lebih terjaga. Apapun yang dirumuskan oleh MPR dalam rangka pembangunan bangsa semua terwakilkan, serta tidak tidak ada yang merasa tertinggal,” kata politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.
Dipo selaku Tim Kuasa DPR RI yang juga Anggota Komisi III DPR RI menjelaskan penyelenggaraan Pemilu 2019 telah menimbulkan dampak politik dalam masyarakat yang mengarah pada kondisi terjadinya disintegrasi bangsa dan mengancam persatuan dan kesatuan Indonesia. Hal ini ditandai dengan dengan terfragmentasinya kekuatan–kekuatan politik dalam masyarakat baik pada tatanan organisasi parpol maupun ormas. Alasan inilah, menurut Dipo yang menjadi urgensi terhadap perubahan UU MD3 yang ketiga.
“Mengenai komposisi jumlah Pimpinan MPR, dalam pengaturan sebelumnya, komposisi jumlah Pimpinan MPR masih kurang proporsional dan cenderung mencerminkan kekuatan kelompok politik tertentu. Partai yang memiliki kursi terbanyak justru tidak terwakili dalam kepemimpinan MPR. Hal ini dinilai bisa menghambat kinerja MPR dalam melaksanakan kewenangannya,” sambung Dipo sembari menambahkan proses perubahan ketiga UU MD3 telah melewati tahapan–tahapan yang sesuai dengan prosedur dalam pembentukan UU.
Dipo juga menyinggung anggapan pembengkakan keuangan negara akibat adanya perubahan jumlah Pimpinan di MPR seperti yang disampaikan pemohon. Selanjutnya Dipo menuturkan, adanya kewenangan dan tugas MPR berpengaruh secara signifikan bagi kelangsungan kehidupan demokrasi bangsa dan negara, sehingga sudah pasti membutuhkan anggaran yang menunjang pelaksanaan kewenangan dan tugas MPR tersebut.
Hal ini lazim dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara saja mengatur jika penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Sehingga, menurut Dipo pernyataan menyebabkan pembengkakan keuangan negara ini tidak jelas dan tidak berdasar.
“Mengenai pendapatan, ataupun penghasilan, sudah sesuai dengan keadaan dan tanggung jawab mereka. Sehingga mereka mendapatkan penghasilan dari aturan yang ada. Penambahan yang hanya seberapa, tidak mengganggu keuangan negara, namun yang lebih penting ialah kestabilan nasional lebih penting dari segala-galanya,” tandas legislator dapil Nusa Tenggara Timur I itu.
Sebagaimana diketahui, MK kembali menggelar sidang pengujian UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD. Adapun pemohon terdiri dari 3 orang yang berprofesi sebagai advokat. Pemohon menyampaikan pengujian formil atas UU tersebut.
Dalam permohonannya, para pemohon mempermasalahkan proses pembentukan UU MD3, khususnya di dalam tahapan perencanaan, pembahasan dan penetapannya. Karena itu, mereka meminta MK menyatakan UU Nomor 13 Tahun 2019 tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.