Anggota Komisi VIII DPR RI Khatibul Umam Wiranu menilai kebijakan Rektor UIN Sunan Kalijaga yang melarang penggunaan cadar dengan alasan cara berbusana tersebut identik dengan ekstremisme ini merupakan kebijakan yang aneh. Perguruan tinggi tersebut menilai dari sisi pakaiannya, bukan pikirannya. Lain cerita jika ukurannya tindakan ekstremisme itu ukurannya peraturan perundang-undangan.
“Saya tidak membela cadarnya, tapi soal kepatutan saja, dimana UIN sebagai kampus yang harusnya berstandar pada nilai-nilai akademis, bukan standar busana,” ungkap Khatibul dalam rilis yang disampaikan Parlementaria, Rabu (07/3/2018).
Politisi Partai Demokrat ini menuturkan ekstrim dan tidak ekstrim seseorang itu standarnya tindakan yang menganngu, melukai, membahayakan atau bahkan mengancam jiwa orang lain atau masyarakat atas dasar pemahaman keagamaan yang salah, dan bukan atas dasar baju yang dikenakan. “Universitas itu ciri utamanya memegang standar akademis yang universal sifatnya. Menggelikan saja menghakimi civitas akademika berdasarkan suka dan tidak suka dalam gaya berpakaian,” sambungnya.
Lanjut Khatibul, jika ditarik lebih jauh persoalan di UIN Sunan Kalijaga ini, tidak terlepas dari posisi rektor yang merupakan wakil pemerintah, karena Rektor PTAIN itu 100% pilihan Menteri Agama maka konsekuensinya akan muncul Rektor PTAIN yang bersikap otoriter dalam memutuskan kebijakan di lingkungan kampusnya. Hal ini merujuk Pasal 8 Peraturan Menteri Agama No 68 Tahun 2015 dimana disebutkan penetapan dan pengangkatan rektor dilakukan oleh menteri. Pencabutan atas PMA ini sejak lama telah disuarakan oleh kalangan akademisi di lingkungan PTKIN.
Khatibul Umam pun juga mendorong civitas akademika UIN Sunan Kalijaga atas nama demokratsiasi di lingkungan kampus untuk melakukan gugatan tata usaha negara (TUN) atas kebijakan Rektor UIN Sunan Kalijaga. “Upaya tersebut untuk menguji sekaligus meluruskan nalar yang bengkok terhadap substansi kebijakan tersebut,” tutupnya.