Wakil Ketua DPR Fadli Zon angkat bicara mengenai rencana pemerintah untuk menyerahkan pengelolaan dan penamaan ribuan pulau kecil tak bernama yang ada di Indonesia kepada pihak asing.
"Sesudah isu gelombang tenaga kerja asing menjadi sorotan publik dalam dua tahun terakhir, seharusnya pemerintah memperbaiki cara komunikasi dalam menyampaikan kebijakan," kata Fadli Zon melalui pesan singkat, Kamis (12/1/2017).
Fadli menilai cara pemerintah mengutarakan rencana tersebut telah mengabaikan harga diri bangsa Indonesia.
Politikus Gerindra itu mengakui Indonesia terbuka terhadap investasi asing di berbagai sektor yang diizinkan oleh undang-undang, termasuk sektor pariwisata.
Namun, menyerahkan pemberian nama-nama pulau kepada pihak asing sebagai bagian dari iming-iming investasi bukan lah hal yang bijak.
"Bayangkan kalau pulau itu dinamakan nama-nama yang tak pantas seperti Pulau Hitler atau Pulau Escobar," kata Fadli.
Fadli mengingatkan UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, tidak mengenal hak pengelolaan pulau.
UU tersebut, kata Fadli, hanya mengenal Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3), yaitu hak pengelolaan atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, baik yang berada di atas permukaan laut maupun permukaan dasar laut.
"Masalahnya, hak itu pun sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010, melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010. Jadi, HP-3 dianggap oleh MK sebagai bertentangan dengan konstitusi," kata Fadli.
Fadli menuturkan mekanisme HP-3 dinilai telah mengurangi hak penguasaan negara atas pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Akhirnya diterbitkan UU No. 1/2014 tentang Perubahan atas UU No. 27/2007.
"Jadi, rencana pemerintah memberikan hak pengelolaan pulau kepada asing, bahkan mengiming-imingi mereka untuk memberikan nama segala, bisa menabrak undang-undang," ujar Fadli.
Apalagi, Fadli mengatakan Indonesia merupakan negara maritim. Sehingga, pemanfaatan pulau-pulau kecil harus memperhatikan fungsi pertahanan, keamanan, dan kedaulatan negara Republik Indonesia.
Bahkan, untuk pulau-pulau kecil terluar, sesuai PP No. 62/2010 disebut jika pemanfaatan pulau-pulau kecil terluar hanya bisa dilakukan untuk tiga kepentingan, yaitu pertahanan dan keamanan, kesejahteraan masyarakat, serta pelestarian lingkungan.
"Itu sebabnya pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya, sesuai undang-undang, hanya bisa diberikan kepada orang perseorangan warga negara Indonesia (WNI), badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia, atau masyarakat adat," kata Fadli.
Fadli mengakui undang-undang juga membuka kemungkinan pemanfaatan bagi orang asing. Tetapi klausul itu tidak sinkron dengan pasal-pasal lainnya.
"Jadi, pasal itu harusnya dianggap sebagai kelemahan yang perlu segera direvisi, dan bukannya malah dieksploitasi oleh pemerintah," ujarnya.
Kalaupun investor asing diberi ruang, Fadli mengatakan, izin itu seharusnya hanya boleh diberikan kepada badan hukum. Tidak diberikan kepada orang asing secara perseorangan.
Itupun, dengan catatan, tak boleh bersifat ekslusif, di mana satu investor diizinkan menguasai satu pulau.
"Itu bisa menutup akses dan hak masyarakat kita. Jangan sampai masyarakat kita jadi dirugikan, terutama masyarakat adat yang ada di sekitar pulau," imbuh Fadli.
Menurut Fadli, pulau-pulau yang belum bernama, seharusnya digunakan pemerintah untuk memperkuat identitas ke-Indonesia-an, dengan memberikan nama-nama seperti pahlawan nasional, tokoh seniman budayawan, tokoh olahraga dan atau nama-nama yang historis sesuai wilayah.
"Jadi, kita harus segera mengubah undang-undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, agar tidak ada lagi celah bagi kebijakan atau gagasan yang bisa menghina harga diri kita sebagai bangsa semacam itu. Jangan karena demi investasi kita kemudian jadi gampang saja menggadaikan kedaulatan," jelasnya.Wakil Ketua DPR Fadli Zon angkat bicara mengenai rencana pemerintah untuk menyerahkan pengelolaan dan penamaan ribuan pulau kecil tak bernama yang ada di Indonesia kepada pihak asing.
"Sesudah isu gelombang tenaga kerja asing menjadi sorotan publik dalam dua tahun terakhir, seharusnya pemerintah memperbaiki cara komunikasi dalam menyampaikan kebijakan," kata Fadli Zon melalui pesan singkat, Kamis (12/1/2017).
Fadli menilai cara pemerintah mengutarakan rencana tersebut telah mengabaikan harga diri bangsa Indonesia.
Politikus Gerindra itu mengakui Indonesia terbuka terhadap investasi asing di berbagai sektor yang diizinkan oleh undang-undang, termasuk sektor pariwisata.
Namun, menyerahkan pemberian nama-nama pulau kepada pihak asing sebagai bagian dari iming-iming investasi bukan lah hal yang bijak.
"Bayangkan kalau pulau itu dinamakan nama-nama yang tak pantas seperti Pulau Hitler atau Pulau Escobar," kata Fadli.
Fadli mengingatkan UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, tidak mengenal hak pengelolaan pulau.
UU tersebut, kata Fadli, hanya mengenal Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3), yaitu hak pengelolaan atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, baik yang berada di atas permukaan laut maupun permukaan dasar laut.
"Masalahnya, hak itu pun sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010, melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010. Jadi, HP-3 dianggap oleh MK sebagai bertentangan dengan konstitusi," kata Fadli.
Fadli menuturkan mekanisme HP-3 dinilai telah mengurangi hak penguasaan negara atas pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Akhirnya diterbitkan UU No. 1/2014 tentang Perubahan atas UU No. 27/2007.
"Jadi, rencana pemerintah memberikan hak pengelolaan pulau kepada asing, bahkan mengiming-imingi mereka untuk memberikan nama segala, bisa menabrak undang-undang," ujar Fadli.
Apalagi, Fadli mengatakan Indonesia merupakan negara maritim. Sehingga, pemanfaatan pulau-pulau kecil harus memperhatikan fungsi pertahanan, keamanan, dan kedaulatan negara Republik Indonesia.
Bahkan, untuk pulau-pulau kecil terluar, sesuai PP No. 62/2010 disebut jika pemanfaatan pulau-pulau kecil terluar hanya bisa dilakukan untuk tiga kepentingan, yaitu pertahanan dan keamanan, kesejahteraan masyarakat, serta pelestarian lingkungan.
"Itu sebabnya pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya, sesuai undang-undang, hanya bisa diberikan kepada orang perseorangan warga negara Indonesia (WNI), badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia, atau masyarakat adat," kata Fadli.
Fadli mengakui undang-undang juga membuka kemungkinan pemanfaatan bagi orang asing. Tetapi klausul itu tidak sinkron dengan pasal-pasal lainnya.
"Jadi, pasal itu harusnya dianggap sebagai kelemahan yang perlu segera direvisi, dan bukannya malah dieksploitasi oleh pemerintah," ujarnya.
Kalaupun investor asing diberi ruang, Fadli mengatakan, izin itu seharusnya hanya boleh diberikan kepada badan hukum. Tidak diberikan kepada orang asing secara perseorangan.
Itupun, dengan catatan, tak boleh bersifat ekslusif, di mana satu investor diizinkan menguasai satu pulau.
"Itu bisa menutup akses dan hak masyarakat kita. Jangan sampai masyarakat kita jadi dirugikan, terutama masyarakat adat yang ada di sekitar pulau," imbuh Fadli.
Menurut Fadli, pulau-pulau yang belum bernama, seharusnya digunakan pemerintah untuk memperkuat identitas ke-Indonesia-an, dengan memberikan nama-nama seperti pahlawan nasional, tokoh seniman budayawan, tokoh olahraga dan atau nama-nama yang historis sesuai wilayah.
"Jadi, kita harus segera mengubah undang-undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, agar tidak ada lagi celah bagi kebijakan atau gagasan yang bisa menghina harga diri kita sebagai bangsa semacam itu. Jangan karena demi investasi kita kemudian jadi gampang saja menggadaikan kedaulatan," jelasnya.