Dua pakar hukum tata negara yakni Refly Harun dan Zain Badjaber dihadirkan dalam sidang kode etik Badan Kehormatan (BK) DPD RI terkait kasus suap kuota impor gula sebesar Rp 100 juta yang dilakukan Ketua DPD RI Irman Gusman.
Sidang kali ini dipimpin langsung oleh Ketua Badan Kehormatan (BK) A.M. Fatwa serta didampingi Wakil Ketua Lalu Suhao Ismy dan Husaeni Rani.
Terdapat tujuh anggota yang hadir yakni Juniwati T Masjchun Sofwan, Ahmad Kanedi, Andi Surya, Eni Sumarni, Budiono, Antung Fatmawari, Novita Anakotta, Mervin I S Komber.
Dalam pemaparannya, Refly Harun menyampaikan bahwa putusan BK DPD untuk memberhentikan Irman Gusman tak perlu menunggu putusan vonis jaksa.
Ini mengingat, dalam peraturan kode etik bisa dikenakan soal mampu mengendalikan ucapan, sikap dan prilaku guna menjaga perasaan orang lain, serta tidak menyalahgunakan kewenangan dan kewibawaan DPD untuk kepentingan keluarga serti pribadi.
"Contoh relevan yang bisa dijadikan referensi DPD RI adalah kasus suap yang menimpa mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, dia divonis seumur hidup karena menerima hadiah dan tindak pidana pencucian uang," kata Refly di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (19/9/2016).
Sementara itu, Zain Badjaber mengutarakan kalau Badan Kehormatan harus mendapatkan surat tertulis KPK terkait penetapan tersangka Irman Gusman, sebagai bentuk untuk hak mengajukan praperadilan.
"Karena bagi tersangka itu penting," ujarnya.
Menanggapi hal itu, Ketua Badan Kehormatan DPD A.M Fatwa mengungkapkan, kalau pemberhentian Irman Gusman sebagai Ketua DPD RI tak perlu memakai surat resmi, lantaran KPK sudah mengumumkan secara resmi.
"Kita ingin semua proses bisa terlaksana dengan baik," ucapnya.
Pantauan TeropongSenayan, selain menghadirkan dua pakar hukum tata negara, Badan Kehormatan DPD juga menghadirkan Sekjen DPD Sudarsono. Namun, ia meminta agar sidang kode etik bisa berlangsung tertutup tanpa ada awak media.