Prasetyo Edy Akui Ajak Anggota DPRD DKI Bertemu Aguan

KETUA DPRD Jakarta Prasetyo Edy Marsudi mengaku pernah mengajak Ketua dan anggota Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD Jakarta bertemu pendiri Agung Sedayu Grup Sugianto Kusuma alias Aguan di rumah Aguan yang dikatakannya merupakan bekas bosnya.

"Spontanitas saja saya dari rumah diskusi dengan Pak Aguan, saya telepon Pak Selamat Nurdin, ayo silaturahim ke bos gue dan tidak ada pikiran akan seperti ini sudah lama sejak jadi anggota dewan pada 2013, saya tidak bertemu beliau, saya nggak boleh jadi kacang lupa kulit," kata Prasetyo saat menjadi saksi di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (14/9).

Prasetyo menjadi saksi untuk mantan Ketua Komisi D dari Fraksi Partai Gerindra Mohammad Sanusi yang didakwa menerima suap Rp2 miliar dari Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara (Pantura) Jakarta (RTRKSP) dan melakukan pencucian uang sebesar Rp45,28 miliar.

"Saya ini karyawan Pak Aguan sejak 1997, beliau salah satu pendiri Artha Graha. Saya pernah kerja di Padmaraga Pratama Indonesia dari 1997-2012. Saya sering diskusi dan ngobrol. Saya lihat dia pengusaha nasional, diskusi macam-macam karena saya disuruh banyak di perusahaan beliau, saya biasa kerja di sana," ungkap Prasaetyo.

Pertemuan itu terjadi di rumah Aguan yang beralamat di Taman Golf Timur II/11-12 Pantai Indah Kapuk (PIK) Jakarta pada pertengahan Desember 2015. Orang-orang yang menghadiri pertemuan itu ialah Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta merangkap Ketua Balegda Mohammad Taufik, anggota Balegda Mohammad Sanusi, Ketua DPRD Prasetyo Edy Marsudi, anggota Balegda M Sangaji alias Ongen Sangaji, dan Ketua Fraksi PKS Selamat Nurdin, Aguan serta mantan Direktur Utama PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja.

"Saya pertama telepon Pak Taufik kemudian Pak Ongen, Pak Sanusi diajak Pak Taufik, tapi itu hanya sebentar sekitar setengah jam. Saya ketemu beliau (Aguan), makan empek-empek, merokok ya sudah saya pulang," kata Prasetyo.

Namun, Prasetyo yang merupakan politikus PDI Perjuangan itu mengaku juga melihat Ariesman berbincang dengan Sanusi di rumah Aguan, tetapi ia belum kenal Ariesman saat itu.

"Pak Sanusi ngobrol dan ternyata tahu di sidang (sebelumnya) saya tahu itu Pak Ariesman tapi saya tidak tahu isi perbincangan mereka," ungkap Sanusi.

Sanusi juga membantah Aguan menjanjikan Rp50 miliar kepada para anggota DPRD dalam pertemuan itu.

"Apakah waktu pertemuan itu Aguan pernah dijanjikan mengenai pemberian hadiah atau uang kepada anggota DPRD lain terkait RTRKSP?" tanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Ronald Worotikan.

"Tidak ada," jawab Prasetyo.

"Apa pernah terima juga?" tanya JPU Ronald.

"Tidak ada," jawab Prasetyo.

Hal itu berbeda dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Direktur Utama PT Kapuk Naga Indah (anak perusahaan Agung Sedayu Grup) Budi Nurwono yang menyatakan ada pertemuan di rumah Aguan di PIK dan Aguan menyanggupi permintaan Rp50 miliar dari anggota DPRD DKI Jakarta.

Dalam BAP No 18, Budi mengaku pada sekitar Januari 2016 ia mengikut pertemuan di rumah Aguan di Pantai Indah Kapuk yang dihadiri oleh Aguan, Budi, mantan Ketua Komisi D dari DPRD DKI Sanusi, Ariesman.

Saat itu, menurut Budi, Aguan mengatakan bahwa untuk membahas percepatan pengesahan RTRKSP dari DPRD mengatakan agar menyiapkan Rp50 miliar, Aguan menyanggupi sebesar Rp50 miliar untuk anggota DPRD DKI Jakarta kemudian Aguan bersalaman dengan seluruh yang hadir.

Namun, menurut JPU KPK dalam perkara Ariesman, Budi Nurwono mencabut keterangan di BAP No 18 tersebut, surat pencabutan keterangan dikirimkan tiga kali kepada KPK. Surat ditandatangani Budi di atas meterai dan dibenarkan melalui keterangan notaris di Singapura.

Surat tersebut juga sudah disahkan Kantor Kedutaan Indonesia di Singapura. Alasan pencabutan surat adalah karena Budi tidak mau memfitnah dan merusak citra orang lain, Budi sedang sakit dan takut menimbulkan dosa. Ia juga mengaku tidak pernah mengikuti pertemuan di Pantai Indah Kapuk, dan tidak mengetahui adanya permintaan uang.

Dalam perkara ini, Sanusi didakwakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 rentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Sedangkan dalam dakwaan kedua, didakwa menyamarkan harta kekayaan sejumlah Rp45,28 miliar yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi selaku anggota Komisi D periode 2009-2014 dan 2014-2019 dengan dakwaan Pasal 3 UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP mengenai tindak pidana pencucian uang aktif dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun
dan denda Rp10 miliar.

Diposting 15-09-2016.

Dia dalam berita ini...

Mohamad Sanusi

Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta 2014