Kedua pertemuan itu membicarakan soal proyek jatah anggota Komisi V DPR yang akan ditempatkan di Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku-Maluku Utara.
Saya hanya satu kali mengikuti pertemuan di Ambhara, selain itu tidak pernah," ujar Alamuddin.
Alamuddin menuturkan, pertemuan yang berlangsung sekitar Oktober 2015 tersebut dihadiri Kepala BPJN IX Amran HI Mustary, dan anggota Komisi V dari Fraksi Partai Golkar Budi Supriyanto.
Selain itu, hadir juga anggota Komisi V dari Fraksi PKB Fathan Subchi dan Damayanti. Kemudian, dua staf Damayanti, yakni Julia Prasetyarini dan Dessy A Edwin.
Saat ditanyakan jaksa apakah dalam pertemuan tersebut dibahas mengenai program aspirasi di Maluku, Alamuddin mengaku tidak tahu.
Ia berdalih suasana saat itu sedang ramai dan suara musik cukup keras, sehingga ia tidak dapat mendengar pembicaraan satu sama lain. Selain itu, posisi duduk masing-masing yang hadir juga terpisah.
Damayanti membantah semua keterangan Alamuddin tersebut. Menurut dia, pertemuan di Ambhara yang dihadiri Alamuddin terjadi beberapa kali.
Selain itu, dalam setiap pertemuan juga dibahas program aspirasi, termasuk yang diusulkan oleh Alamuddin.
"Pertemuan di Ambhara tidak hanya satu kali, CCTV tidak bisa bohong. Posisi duduk juga tidak jauh, Alamuddin duduk di depan saya, tidak ada live music, tidak mungkin tidak mendengar (percakapan)," bantah Damayanti.
Jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga sempat menanyakan kepada Alamuddin terkait pertemuan di ruang 621, ruang kerja Damayanti.
Menurut Jaksa, beberapa saksi sebelumnya mengakui adanya pertemuan di ruang 621, sebelum bersama-sama menuju hotel Ambhara untuk bertemu Amran.
Alamuddin kembali membantah keterangan tersebut. "Tidak pernah sama sekali," kata Alamuddin.
Damayanti balik membantah keterangan Alamuddin. "Sebelum kumpul di Ambhara, kami kumpul di ruang 621, dan di sana sepakat akan mengajukan program aspirasi di Maluku. Jadi tidak mungkin tidak tahu, ngapain juga Alamuddin ketemu Amran kalau tidak tahu," kata Damayanti.
Meski kesaksiannya dibantah Damayanti, Alamuddin menegaskan kepada hakim akan tetap pada keterangannya.
Ia juga menantang untuk membuktikan kesaksian di persidangan ini. "Kami juga sudah dikonfrontir di KPK. Bisa dicek melalui CCTV, itu jauh lebih baik," kata Alamuddin.
Bukan kali ini saja, Alamuddin menyangkal. Sebelumnya, ketika menjadi saksi untuk perkara bos PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir, Alamuddin pun mengaku tak tahu menahu soal proyek di BPJN IX.
Jaksa sempat menanyakan percakapan Damayanti-Alamuddin soal proyek itu. "Damayanti bilang, proyekmu hilang diambil alih oleh Musa?" tanya jaksa.
Alamuddin menjawab, "Tidak pernah."
Jaksa kembali menegaskan pertanyaan bahwa Damayanti pernah memberitahu Alamuddin bahwa proyeknya di BPJN IX diambil Musa Zainuddin, Kapoksi PKB di Komisi V. Alamuddin bersikukuh tak tahu.
Lebih lanjut, jaksa mencecar saksi seputar pertemuan Alamuddin dengan tersangka Damayanti Wisnu Putranti di KPK. Pertemuan itu terjadi ketika saksi Alamuddin menjalani pemeriksaan.
Upaya jaksa mengklarifikasi hal tersebut bertujuan memastikan kedekatan Alamuddin dan Damayanti. "Kamu ingat pernah bertemu dengan Damayanti di KPK?" tanya jaksa.
Alamuddin pun tak menepis hal tersebut. "Ya saya ingat," akunya.
Jaksa lalu membacakan berita acara pemeriksaan bahwa Alamuddin pernah menangis saat bertemu Damayanti di KPK.
Jaksa juga membacakan percakapan Damayanti dengan Alamudin lewat pesan singkat. Alamuddin mengirim pesan dalam bahasa Jawa, "Nderek dawuhe mbakyu aja. Apa aku tak sowan ke rumah njenengan di Lenteng Agung aja daripada ...."
Jaksa menterjemahkan, Alamuddin mengatakan bahwa hanya ikut keterangan Damayanti aja.
Kilas Balik
Taufan Tiro Menyangkal Di Sidang, Dua Hari Kemudian Jadi Tersangka
Anggota Komisi V DPR Andi Taufan Tiro juga pernah dituding berbohong di persidangan. Saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, 25 April 2016, politisi PAN itu mengatakan tak kenal dan pernah bertemu bos PT Windhu Tunggal Utama (WTU) Abdul Khoir.
Persidangan pun sempat panas. Khoir yang menjadi terdakwa di persidangan ini menyatakan Taufan berbohong. "Tidak benar jika disebut saya tidak pernah bertemu dengan Pak Andi," bantah Khoir.
Khoir membeberkan, bagaimana bisa Taufan mengaku tidak kenal padahal sempat melakukan beberapa kali pertemuan. Lebih mengejutkan lagi, Khoir mengungkapkan pernah menyerahkan uang secara langsung kepada Taufan.
Uang itu membeli proyek jatah Taufan di BPJN IX. "Tidak benar jika disebut saya tidak pernah bertemu dengan Pak Andi," tandasnya lagi.
Dalam surat dakwaan disebutkan Khoir pernah empat kali bertemu Taufan. Bahkan, Khoir pernah menemui Taufan di ruang kerja di DPR pada 4 Oktober 2015.
Meski kesaksiannya dibantah Khoir, Taufan bersikukuh menyangkal pernah bertemu dan menerima uang. "Saya tidak tahu, tidak pernah dan saya tetap sesuai keterangan saya," kata Taufan.
Hakim pun memerintahkan jaksa menghadirkan saksi-saksi yang ikut pertemuan Khoir-Taufan di DPR.
Dua hari berselang, KPK menetapkan Taufan sebagai tersangka. "Terkait dengan kasus pemberian hadiah atau janji terkait proyek di Kementerian PUPR," kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati.
Dalam dakwaan terhadap Khoir dibeberkan Taufan memiliki jatah proyek pembangunan jalan ruas Wayabula?"Sofi senilai Rp 30 miliar dan proyek peningkatan ruang jalan Wayabula?"Sofi senilai Rp 70 miliar. Fee untuk Taufan 7 persen dari kedua nilai proyek, yakni Rp 7 miliar.
Penyerahan uang lewat Jailani Parrandy, staf ahli anggota Komisi V DPRdari Fraksi PAN, Yasti Soepredjo Mokoagow.
Saat bersaksi di persidangan, Jailani mengakui menerima uang dari Khoir untuk disampaikan ke Taufan. Penyerahan duit untuk Taufan dilakukan bertahap. Pertama diberikan langsung ke Taufan di pinggir jalan kawasan Kalibata, pada pukul 2.00 dini hari. "Tahap pertama Rp 2 miliar," sebut Jailani. Sebagian lagi diserahkan Khoir langsung kepada Taufan pada 2 November 2015. Saya hanya satu kali mengikuti pertemuan di Ambhara, selain itu tidak pernah," ujar Alamuddin.
Alamuddin menuturkan, pertemuan yang berlangsung sekitar Oktober 2015 tersebut dihadiri Kepala BPJN IX Amran HI Mustary, dan anggota Komisi V dari Fraksi Partai Golkar Budi Supriyanto.
Selain itu, hadir juga anggota Komisi V dari Fraksi PKB Fathan Subchi dan Damayanti. Kemudian, dua staf Damayanti, yakni Julia Prasetyarini dan Dessy A Edwin.
Saat ditanyakan jaksa apakah dalam pertemuan tersebut dibahas mengenai program aspirasi di Maluku, Alamuddin mengaku tidak tahu.
Ia berdalih suasana saat itu sedang ramai dan suara musik cukup keras, sehingga ia tidak dapat mendengar pembicaraan satu sama lain. Selain itu, posisi duduk masing-masing yang hadir juga terpisah.
Damayanti membantah semua keterangan Alamuddin tersebut. Menurut dia, pertemuan di Ambhara yang dihadiri Alamuddin terjadi beberapa kali.
Selain itu, dalam setiap pertemuan juga dibahas program aspirasi, termasuk yang diusulkan oleh Alamuddin.
"Pertemuan di Ambhara tidak hanya satu kali, CCTV tidak bisa bohong. Posisi duduk juga tidak jauh, Alamuddin duduk di depan saya, tidak ada live music, tidak mungkin tidak mendengar (percakapan)," bantah Damayanti.
Jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga sempat menanyakan kepada Alamuddin terkait pertemuan di ruang 621, ruang kerja Damayanti.
Menurut Jaksa, beberapa saksi sebelumnya mengakui adanya pertemuan di ruang 621, sebelum bersama-sama menuju hotel Ambhara untuk bertemu Amran.
Alamuddin kembali membantah keterangan tersebut. "Tidak pernah sama sekali," kata Alamuddin.
Damayanti balik membantah keterangan Alamuddin. "Sebelum kumpul di Ambhara, kami kumpul di ruang 621, dan di sana sepakat akan mengajukan program aspirasi di Maluku. Jadi tidak mungkin tidak tahu, ngapain juga Alamuddin ketemu Amran kalau tidak tahu," kata Damayanti.
Meski kesaksiannya dibantah Damayanti, Alamuddin menegaskan kepada hakim akan tetap pada keterangannya.
Ia juga menantang untuk membuktikan kesaksian di persidangan ini. "Kami juga sudah dikonfrontir di KPK. Bisa dicek melalui CCTV, itu jauh lebih baik," kata Alamuddin.
Bukan kali ini saja, Alamuddin menyangkal. Sebelumnya, ketika menjadi saksi untuk perkara bos PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir, Alamuddin pun mengaku tak tahu menahu soal proyek di BPJN IX.
Jaksa sempat menanyakan percakapan Damayanti-Alamuddin soal proyek itu. "Damayanti bilang, proyekmu hilang diambil alih oleh Musa?" tanya jaksa.
Alamuddin menjawab, "Tidak pernah."
Jaksa kembali menegaskan pertanyaan bahwa Damayanti pernah memberitahu Alamuddin bahwa proyeknya di BPJN IX diambil Musa Zainuddin, Kapoksi PKB di Komisi V. Alamuddin bersikukuh tak tahu.
Lebih lanjut, jaksa mencecar saksi seputar pertemuan Alamuddin dengan tersangka Damayanti Wisnu Putranti di KPK. Pertemuan itu terjadi ketika saksi Alamuddin menjalani pemeriksaan.
Upaya jaksa mengklarifikasi hal tersebut bertujuan memastikan kedekatan Alamuddin dan Damayanti. "Kamu ingat pernah bertemu dengan Damayanti di KPK?" tanya jaksa.
Alamuddin pun tak menepis hal tersebut. "Ya saya ingat," akunya.
Jaksa lalu membacakan berita acara pemeriksaan bahwa Alamuddin pernah menangis saat bertemu Damayanti di KPK.
Jaksa juga membacakan percakapan Damayanti dengan Alamudin lewat pesan singkat. Alamuddin mengirim pesan dalam bahasa Jawa, "Nderek dawuhe mbakyu aja. Apa aku tak sowan ke rumah njenengan di Lenteng Agung aja daripada ...."
Jaksa menterjemahkan, Alamuddin mengatakan bahwa hanya ikut keterangan Damayanti aja.
Kilas Balik
Taufan Tiro Menyangkal Di Sidang, Dua Hari Kemudian Jadi Tersangka
Anggota Komisi V DPR Andi Taufan Tiro juga pernah dituding berbohong di persidangan. Saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, 25 April 2016, politisi PAN itu mengatakan tak kenal dan pernah bertemu bos PT Windhu Tunggal Utama (WTU) Abdul Khoir.
Persidangan pun sempat panas. Khoir yang menjadi terdakwa di persidangan ini menyatakan Taufan berbohong. "Tidak benar jika disebut saya tidak pernah bertemu dengan Pak Andi," bantah Khoir.
Khoir membeberkan, bagaimana bisa Taufan mengaku tidak kenal padahal sempat melakukan beberapa kali pertemuan. Lebih mengejutkan lagi, Khoir mengungkapkan pernah menyerahkan uang secara langsung kepada Taufan.
Uang itu membeli proyek jatah Taufan di BPJN IX. "Tidak benar jika disebut saya tidak pernah bertemu dengan Pak Andi," tandasnya lagi.
Dalam surat dakwaan disebutkan Khoir pernah empat kali bertemu Taufan. Bahkan, Khoir pernah menemui Taufan di ruang kerja di DPR pada 4 Oktober 2015.
Meski kesaksiannya dibantah Khoir, Taufan bersikukuh menyangkal pernah bertemu dan menerima uang. "Saya tidak tahu, tidak pernah dan saya tetap sesuai keterangan saya," kata Taufan.
Hakim pun memerintahkan jaksa menghadirkan saksi-saksi yang ikut pertemuan Khoir-Taufan di DPR.
Dua hari berselang, KPK menetapkan Taufan sebagai tersangka. "Terkait dengan kasus pemberian hadiah atau janji terkait proyek di Kementerian PUPR," kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati.
Dalam dakwaan terhadap Khoir dibeberkan Taufan memiliki jatah proyek pembangunan jalan ruas Wayabula?"Sofi senilai Rp 30 miliar dan proyek peningkatan ruang jalan Wayabula?"Sofi senilai Rp 70 miliar. Fee untuk Taufan 7 persen dari kedua nilai proyek, yakni Rp 7 miliar.
Penyerahan uang lewat Jailani Parrandy, staf ahli anggota Komisi V DPRdari Fraksi PAN, Yasti Soepredjo Mokoagow.
Saat bersaksi di persidangan, Jailani mengakui menerima uang dari Khoir untuk disampaikan ke Taufan. Penyerahan duit untuk Taufan dilakukan bertahap. Pertama diberikan langsung ke Taufan di pinggir jalan kawasan Kalibata, pada pukul 2.00 dini hari. "Tahap pertama Rp 2 miliar," sebut Jailani. Sebagian lagi diserahkan Khoir langsung kepada Taufan pada 2 November 2015.