Walau Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan putusan sengketa pengelolaan Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta, namun anak usaha Maskapai Lion Air Indonesia, PT Angkasa Transportindo Selaras (ATS), dinilai belum boleh mengeksekusi putusan itu. Anak usaha Lion Air itu dinilai tak bisa serta merta menjadi pengelola bandara itu.
"Walaupun ada putusan MA Tentang bandara Halim yang dimenangkan PT ATS dari Lion Group, itu tidak dapat dieksekusi. Dengan putusan MA itu, PT ATS tidak serta merta bisa menjadi pengelolanya," kata Anggota Komisi V DPR, Nizar Zahro, Rabu (9/3).
Kata Nizar, dalam UU Penerbangan no 1/2009, pengelola bandara harus memiliki sertifikat Badan Usaha Bandar Udara (BUBU) dari Kemenhub. Dalam konteks itu, baru PT Angkasa Pura I dan II yang memilikinya, sementara PT ATS belum memilikinya.
"Bandara selama ini dikelola bersama oleh Inkopau (Induk Koperasi TNI AU) dan PT AP II. Sepengetahuan saya PT ATS adalah pengguna yang dikerjasamakan, bukan sebagai pengelola bandara," ujarnya.
Kalaupun mau ditindaklanjuti, kata dia, harus ada kesepakatan antara AP dengan PT ATS, perusahaan yang dimiliki Anggota Wantimpres Rusdi Kirana itu.
Di sisi lain, TNI AU tetap bisa menggunakan bandara itu demi kepentingan aktivitas pertahanan. "Mau setiap hari, setiap malam, tidak boleh ada yang mengganggu demi keamanan udara RI," kata Nizar.
Untuk diketahui, Pengelolaan Bandara Halim Perdanakusuma diserahkan ke Angkasa Pura II berdasarkan kesepakatan antara Kepala Staf TNI AU dengan Dirjen Perhubungan Udara pada 5 Juni 1997. Dalam kesepakatan ini, pengelolaan bandara sipil diserahkan ke AP II. Kesepakatan ini disusul terbitnya Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengoperasian Bandara Soekarno-Hatta dan Bandara Halim Perdanakusuma.
Pada tahun 2005, Inkopau membuat perjanjian dengan PT ATS, sehingga belakangan muncul gugatan dari PT ATS. Padahal perjanjian itu hanya berisi ATS sebagai pengguna yang dikerjasamakan, dan bukan sebagai pengelola bandara.
Dirut Lion Air Group Edward Sirait pernah menyebut bahwa apabila pengelolaan bandara diserahkan ke mereka, maka bagian mereka adalah airport tax. Selama ini, airport tax masuk ke Angkasa Pura, yang merupakan BUMN.
Berdasarkan penelusuran, sengketa sejenis pernah terjadi di Kementerian Hukum dan HAM, salah satunya dalam pengelolaan Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) dan foto paspor biometrik.
Di kasus Sisminbakum, disediakan layanan permohonan pemberian dan perubahan nama perusahaan. Lalu setiap warga yang hendak menggunakan layanan itu harus membayar. Namun, uangnya ternyata masuk ke kas perusahaan swasta, PT SRD. Hal sama juga terjadi dalam kasus paspor. Petinggi Kemenkumham saat itu menunjuk Koperasi Pengayoman, yang merupakan wadah para pegawai dan staf di kementerian, untuk memegang pekerjaan itu. Koperasi kemudian bekerja sama dengan pihak swasta yang menyediakan layanan foto biometrik untuk paspor.
Bedanya di kasus pengelolaan Bandara Halim ini, MA memutus bahwa perjanjian Inkopau dengan PT ATS lebih sahih dibanding SK Menhub nomor 23/2003