Perkembangan teknologi sangat memungkinkan tindakan teror baru yang dilakukan secara cyber terror. Teror jenis ini bisa berbentuk tayangan teror di media-media online, seperti di Youtube pernah beredar video tantangan anggota Islamic State (IS) terhadap TNI dan Polri.
Penanganan cyber terror demikian perlu dipastikan dalam substansi draf RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang diusulkan Pemerintah. Hal itu diungkapkan oleh Sukamta, Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKS, di Jakarta, Sabtu (5/4).
"Selain seperti video Youtube itu, cyber terror itu juga bisa berwujud teror terhadap sistem atau instalasi cyber yang mungkin berkaitan dengan hajat hidup orang banyak," kata Sukamta.
Catatan kedua yang dia buat adalah konstruksi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang terlalu rinci, namun melupakan aspek lain seperti soal asas. Meskipun terorisme itu adalah sebuah kejahatan besar, menurut dia, tetap asas dalam undang-undang itu harus diatur.
"Contohnya asas kesetaraan. Pemberantasan dan pencegahan, hendaknya tidak cenderung berat kepada agama, ras atau kelompok tertentu," kata dia.
Ketiga, dia menilai RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme tidak mengatur apa itu terorisme. Yang ada hanyalah beberapa aturan bahwa setiap orang yang melakukan tindakan tertentu dipidana dengan hukuman tertentu. Tapi istilah terorisme itu sendiri tidak didefinisikan," jelasnya.
Penggunaan kata 'terorisme' sendiri perlu dikaji kembali. Karena kata 'isme' memiliki arti paham, konsep pemikiran atau ideologi. Sehingga terorisme adalah paham, konsep pemikiran atau ideologi yang menganut ajaran dan tindakan teror.
"Terorisme itu mau didefinisikan seperti apa, yang penting disepakati agar tidak abu-abu sehingga tidak menimbulkan tindakan serampangan dalam menentukan seseorang teroris atau bukan," ulasnya.
Keempat, RUU itu mengatur pemberantasan, namun masih kurang dengan aspek pencegahannya. Pemberantasan memiliki konotasi setelah kejadian, sedangkan pencegahan memiliki arti teror itu jangan sampai terjadi.
Kelima, Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT) selama ini beroperasi berdasarkan PP, bukan UU. Dengan adanya revisi UU, BNPT bisa punya power lebih, khususnya dalam mengkoordinasikan pencegahan dan pemberantasan terorisme yang mungkin juga dilakukan oleh instansi lain.
"Bisa menjadi bahaya kalau suatu lembaga sangat powerful tetapi aspek hukumnya tidak jelas dan lengkap, berpotensi serampangan," tegasnya.
Di luar itu, dia berharap problem koordinasi antar stakeholder perlu diperjelas. Karena menjadi lubang masalah besar yang ada. Menurut Sukamta, selama ini terkesan seolah-olah hanya menjadi tugas lembaga tertentu saja, sementara TNI seolah tidak perlu dilibatkan sama sekali.
"Padahal dalam kasus dimana teroris melakukan kegiatan di hutan seperti perang gerilya atau serangan bersenjata di perkotaan, keduanya sudah mengarah seperti perang. TNI mungkin lebih efektif dan efisien untuk menyelesaikan terorisme tingkat ini," jelasnya.
"Jangan sampai TNI malah difungsikan untuk hal-hal yang bukan fungsinya seperti memadamkan kebakaran hutan, ngecek harga di pasar atau penggusuran rumah penduduk. Prinsipnya perlu pengaturan agar perbantuan TNI untuk penanggulangan terorisme menjadi lebih jelas."