Tahun ini adalah dimulainya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), berdasarkan keputusan sidang di Bali, yang diikuti Pemimpin Indonesia, pada beberapa tahun yang lalu.
Menurut Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDI-P, Rieke Diah Pitaloka, ternyata peserta MEA bukan hanya negara ASEAN saja yang bergabung, tetapi juga ada enam negara lain di luar ASEAN yaitu Australia, Selandia Baru, Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, dan India.
"Ketika saya tanyakan apakah kita sudah siap untuk bersaing dengan negara ASEAN saja? Mayoritas mengatakan belum siap untuk menghadai MEA. Karena untuk bersaing dengan negara ASEAN saja kita masih jauh tertinggal dari segi ekonomi dan hal lainnya. Seperti India dan China saja yang memiliki jumlah penduduk di atas kita," jelas Rieke, Senin (11/1).
"Maka nantinya tidak hanya modal, barang dan jasa yang bebas keluar masuk tetapi tenaga kerjanya juga bisa dengan mekanisme yang mudah dapat berpindah-pindah negara," jelasnya.
Sayangnya, lanjut Rieke, yang menjadi prioritas di MEA ini adalah tenaga kerja terampil. Dan mayoritas yang ada di Indonesia, tenaga kerjanya dianggap tidak termasuk dalam tenaga kerja terampil.
Bahkan, sebanyak 70 persen buruh Indonesia yang bekerja di luar negeri adalah pekerja rumah tangga. Dan mayoritas dari tenaga kerja Indonesia itu, yakni 80 persennya, adalah perempuan yang masuk dalam wilayah kerja 3D (Dirty, Danger, Difficult).
"Dan hampir tiap beberapa bulan kita harus banyak mengembalikan perempuan-perempuan yang tidak bernyawa kembali ke keluarganya," jelas dia.
Rieke juga mengaku sudah bertanya kepada banyak TKI soal alasan memilih pergi ke luar negeri dengan gaji yang jika dirupiahkan hanya sekitar Rp 3 juta-Rp 4 juta per bulan. Mayoritas menjawab keberangkatan mereka adalah karena keterpaksaan dan faktor kemiskinan.
"Karena saat ini sudah banyak terjadi kemiskinan secara struktural yang disadari atau tidak justru terjadi secara sistematis," imbuh dia.
Karena itu, Rieke menekankan seharusnya Indonesia mendorong tumbuhnya industri sehingga bisa mempekerjakan rakyatnya di kawasan-kawasan industri dan tak harus bekerja di negara lain.
"Tapi kalau seperti ini terus, Indonesia hanya akan menjadi pusat buruh upah murah bagi negara-negara lain," tegasnya.