KOMISI VII DPR mendukung rencana kerja sama operasi PT Pertagas, anak usaha PT Pertamina (Persero) dengan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk (PGAS), perusahaan distribusi dan transmisi gas yang 56% sahamnya dikuasai pemerintah Indonesia. Kerja sama operasi itu akan menghasilkan eisiensi dan berpengaruh pada harga jual ke konsumen karena infrastruktur gas sepenuhnya dikuasai oleh negara untuk kepentingan nasional.
“Saya pikir (joint operation) itu bagus saja dan itu akan kami dorong kalau bias menghasilkan efisiensi. Apalagi saat ini Pertagas dan PGN menguasai distribusi dan transmisi gas nasional,â€Â ujar Wakil Ketua Komisi Energi DPR, Satya W Yudha, dalam siaran pers di Jakarta, hari ini.
Dia mengakui, kerja sama operasi ini tidak akan mudah karena itu harus ada itikad baik dan semangat nasional dari Pertagas dan PGN karena kerja sama operasi (joint operation) itu memaksa akses terbuka (open access) pada pipa gas yang dimiliki oleh kedua perusahaan dan digunakan secara bersama.
Sejauh ini, Pertagas sudah menyatakan kesiapannya untuk menjalankan kerja sama operasi melalui joint committee di bawah kendali Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sedangkan PGN masih mengkaji hal tersebut karena meyakini akan berpengaruh pada kinerja prouksi dan finansial perusahaan. Kendati sudah beberapa kali ada pertemuan membahas soal joint committee, PGN belum memberi respons positif.
“Saya mengusulkan, agar infrasturktur gas nantinya terintegrasi dan tidak ada masalah dengan kerja sama operasi PGN dan Pertagas, bahkan kalau perlu nanti digabungkan, sebaiknya pemerintah buy back (beli kembali) saham PGN dengan pengelolaan nanti di bawah Pertamina atau Pertagas. PGN itu bukan murni 100% BUMN karena ada saham publik, sedangkan Pertagas sudah jelas 100% punya negara,â€Â ujar Satya.
Anggota Komisi Energi DPR dari Partai Nasional Demokrat Kurtubi sebelumnya juga telah mendorong pemerintah melalui Pertamina untuk melakukan pembelian saham PGN yang sudah dilego ke publik.
"Saat ini infrastruktur gas kita amat sangat minim dan rumah tangga kita akan bergantung pada gas. Dana pembelian saham buyback PGN dapat menggunakan dana yang diambil APBN," tandasnya.
Anggota Dewan Energi Nasional, Rinaldy Dalimi mengatakan PGN seharusnya menjalankan apa yang sudah ditetapkan pemerintah. Di sisi lain, pemeirntah juga harus meminta PGN menerapkan itu.
“Tidak ada alasan mereka tidak mau diatur pemerintah. Bukan hanya untuk PGN, juga untuk badan usaha lain,â€Â ujarnya.
Rinaldy mengakui penerapan open access tidak menguntungkan bgi PGN, tapi menguntungkan secara nasional. Karena itu, Rinaldy mengusulkan agar pemerintah mewajibkan open access kepada semua badan usaha sehingga akhirnya konsumen khususnya industry juga diuntungkan karena harga gas murah.
Harga gas di Indonesia saat ini sulit turun mengikuti penurunan harga minyak karena menggunakan formula harga tetap (fix price). Tingginya harga jual gas juga akibat ketidakefisienan pembangunan infrastruktur dan monopoli terselubung oleh trader gas
Menurut pengamat gas, , Hari Karyuliarto saat ini harga gas di Indonesia rata-rata berada di kisaran US$7,7- 8 per MMBTU. Bahkan ada harga jual gas ke konsumen industri di atas US$12 per MMBTU. Menurutnya, harga gas sebenarnya ada dua skema, yaitu harga lama dan harga baru. Pada harga lama masih ada yang berada di kisaran US$2,5-3 per MMBTU karena sudah tidak ada biaya eksplorasi dan hanya biaya operasional.
"Tetapi untuk lapangan yang baru sudah tidak mungkin harga gas bisa sampai ke harga itu karena ada ongkos produksi dan eksplorasi," ujarnya.
Dengan harga minyak saat ini yang terus turun, menurut Hari, harga gas bisa turun ke level US$ 5 per MMBTU. Tetapi kalau harga gas mau turun, porsi pemerintah yang diturunkan karena pelaku usaha tidak mungkin mau menurunkan margin keuntungannya.