Siapa Caleg 2024 untuk DPR-RI/ DPD-RI/ DPRD Prov. dan DPRD Kab./Kota-mu? Cek di sini...

Berita Anggota Parlemen

Soal Saham JICT, Anggota Pansus Duga Lino Punya Motif

Berita Satu, 06-12-2015

Direktur Utama PT.Pelindo II, RJ Lino, dan Direktur Keuangan perusahaan itu, Orias Moedak, sama-sama bersikeras bahwa perusahaan BUMN itu tak pernah melakukan jual beli saham dengan Hutchinson Port Holding (HPH).

Termasuk yang memastikan HPH akan mengelola Terminal Peti Kemas Jakarta (JICT) hingga 2038, yang diteken pada Agustus 2008 lalu.

Sama-sama 'ngeyelnya' Lino dan Moedak mempertahankan standing position itu dinilai dilatarbelakangi oleh motif agar publik tak masuk ke penilaian sebenarnya atas aset dan potensi bisnis pelabuhan yang dipegang JICT.

Hal itu disampaikan oleh dua orang Anggota Pansus Pelindo II DPR RI, yakni Irmadi Lubis dan Nasril Bahar.

Untuk diketahui, Pelindo II dan HPH meneken perjanjian pada 2014, yang memastikan HPH tetap memegang saham di JICT hingga 2038. Perjanjian awal harusnya habis pada 2019. Artinya, perjanjian 2014 diteken lima tahun sebelum berakhirnya masa perjanjian awal.

Di perjanjian 2014, HPH mendapat jatah 49 persen, turun dari angka 51 persen di perjanjian awal di tahun 1999. Sementara Pelindo II mendapat 50,9 persen, naik dari 48,9 persen jatah di perjanjian 1999.

Oleh Lino dan Moedak, perubahan HPH dari 51 persen ke 49 persen dan Pelindo II dari 48,9 persen ke 50,9 persen bukanlah jual beli saham. Itu ditegaskan keduanya di hadapan rapat Pansus Pelindo II, Jumat (4/12) malam.

Menurut Anggota Pansus Pelindo II dari PDI-P, Irmadi Lubis, baik Lino dan Moedak bisa dipahami akan berusaha menutupi 'borok' yang mereka lakukan, termasuk terkait kerja sama pengelolaan JICT dengan HPH.

Keduanya bertahan dengan sikap 'tidak ada jual beli saham' karena berkonsekuensi membuka tabir bahwa mereka telah menjual JICT terlalu murah ke HPH, perusahaan asing asal Hong Kong.

"Kalau jual beli saham, maka harus dinilai harga saham dan nilai perusahaannya. Kalau dinilai dan divaluasi, akan ketahuan harga sahamnya itu ternyata terlalu rendah," tegas Irmadi, Minggu (6/12).

Nasril Bahar, Politikus asal Partai Amanat Nasional (PAN), juga menyatakan hal senada. Kata Nasril, apabila terminologi jual beli saham diakui oleh Lino dan Moedak, maka itu sama dengan proses divestasi.

"Dan kalau proses divestasi itu, selain wajib ada valuasi, maka secara politik harus mendapat persetujuan DPR RI. Dan harus ada proses lelang transparan yang tak mereka lakukan," kata Nasril.

Dia melanjutkan, bahwa pihaknya menduga perjanjian Agustus 2014 itu hanya selubung permainan saja. Bahkan Pansus Pelindo II DPR menduga sama sekali tak ada pergeseran lembaran saham kepemilikan para pihak di JICT, walau sudah ada kontrak 2014 itu.

"Kerugian negara jelas. Berapa harga pasar saham JICT saat ini, dikalikan jumlah lembar saham yang harusnya diserahkan ke Pelindo II, itulah ruginya. Belum potensi kerugian dari dividen," kata Nasril.

Lebih jauh, dia menduga bahwa kontrak 2014 sebenarnya berniat awal memastikan kepemilikan saham HPH di JICT adalah hanya 49 persen saja. Hal itu sesuai aturan yang menyatakan kepemilikan saham maksimal perusahaan asing di aset strategis negara adalah 49 persen.

"Cuma niat itu ditumpangi kepentingan. Karena kontraknya mau habis pada 2019, sekalian diakali kontrak diperpanjang sampai 2038. Karena kalau tidak, pada 2019, saham HPH jadinya nol," kata Nasril menyampaikan dugaannya.

Diposting 07-12-2015.

Dia dalam berita ini...

Irmadi Lubis

Anggota DPR-RI 2014
Sumatera Utara I