Kisah Perjuangan Manusia Perahu Myanmar Berjuang dari Maut (1)

M.Amin (47) salah seorang manusia perahu warga etnis Rohingya yang terapung-apung di kawasan timur laut Aceh, atau 40 mil dari Kuala Langsa, Provinsi Aceh terlihat lemas dengan wajah pucat, tatapan mata tajam menerawang jauh seolah ada yang sedang dipikirkan setelah hampir dua bulan berada dalam perahu kayu yang terapung di tengah laut, akibat mesin mati.

Kepada SP, Senin (18/5) Amin saat dijumpai di lokasi pengungsian di Kuala Langsa menjelaskan perahu naas yang disesaki manusia perahu itu pada, Kamis (14/5) tengah malam karam akibat dihantam ombak besar dan semua orang di dalam tumpah ruah. Ada yang melompat ke laut berenang untuk menyelamatkan diri mencari daratan dan ada juga yang tetap bertahan dalam perahu kayu yang dipenuhi air sebelum tenggelam, termasuk anak-anak dan kaum perempuan.

Saat mereka sedang terapung dan terombang ambing di tengah laut sebuah perahu pancing milik Marzuki Ramli (45) warga Kota Langsa melintas, orang-orang dalam perahu karam itu histeris minta tolong-tolong walaupun bahasa mereka tidak dipahami para nelayan setempat,tetapi perahu pancing itu membantu mereka.

Ramli sendiri mengaku saat melihat ratusan orang terapung di tengah laut ikut mengontak nelayan lain dengan mengabarkan bahwa ada ratusan manusia terdampar di laut, terapung dan harus dibantu.

Proses evakuasi korban yang sebelumnya berada dalam perahu jenis katrol yang biasa dipakai nelayan Thailand sebagai alat menangkap ikan. Satu persatu imigran Rohingya diangkat ke dalam perahu nelayan.

Jumlah manusia perahu yang diselamatkan Marzuki bersama nelayan lain hampir 700 orang, manusia perahu itu terdiri dari etnis Rohingya, Myanmar, dan Bangladesh. Menurut Marduki dalam proses evakuasi ada dua orang ditinggalkan dalam perahu yang penuh air itu karena mereka bilang suka memukul orang-orang.

Amin menuturkan dirinya bersama etnis Rohingya lainnya meninggalkan negara asal kerena perlakukan kejam militer di sana, umat Islam minoritas di sana dibunuh dan disiksa setiap hari,sehingga dirinya bersamaa ratusan kaum muslim lain harus meninggalkan tanah kelahiran. Ia bersama bersama ratusan warga nekat melarikan diri dari Myanmar dengan menumpang perahu tradisional.

Mereka berjejer di atas perahu kayu dengan bekal seadanya. Akibat mesin perahu yang mereka tumpangi mati, Muslim Rohingya pun harus rela terkatung-katung di lautan yang ganas.

 Hingga akhirnya, mereka ditemukan nelayan Aceh dalam kondisi yang mengenaskan.
Ia juga menceritakan selama berada dalam perahu antara etnis Rohingnya dan warga Banglades tidak akur, selalu berkelahi,bahkan ada yang dicampakkan ke dalam laut.

Amin sendiri saat berbica dengan salah seorang anggota komisi 1 DPR Aceh Bardan Sahidi mengatakan dirinya bersama warga lain lebih baik mati di Aceh dari pada pulang ke negaranya, karena di sana mereka akan disiksa setiap hari oleh militer dan aparat pemerintah Burma.

Menurut Bardan, untaian kalimat tersebut diucapkan Amin bisa dipastikan mewakili aspirasi suara dan perasaan para imigran lainnya yang harus meninggalkan negara asal mereka dan sebagian kini terdampar di Aceh Utara, Kota Langsa, dan Aceh Tamiang.

Dalam kapasitasnya sebagai anggota Parlemen, Bardan meminta PBB (UNHCR) dan International Organization Migration (IOM) memfasilitasi dan menjadi mediator penyelesaian kasus yang dihadapi warga asal Myanmar dan Banglades. Dia juga meminta Pemerintah RI melalui Presiden dan Duta Besar Myanmar (Burma) turun tangan mengatasi persoalan kemanusiaan (human issue) atas pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar.

Diposting 19-05-2015.

Dia dalam berita ini...

Bardan Sahidi

Anggota DPR Aceh 2014