Panitia Kerja Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Komisi IX DPR RI mempertanyakan komitmen pemerintah untuk melaksanakan amanat UU mempersiapkan BJS, termasuk menyediakan modal awal BPJS dalam alokasi anggaran kesehatan di APBN.
“Dari modal awal BPJS yang disediakan pemerintah patut menjadi pertanyaan kita bersama, apakah pemerintah serius dalam mengalokasi anggaran bagi sektor kesehatan di dalam APBN,” kata Ketua Panja Jamkesmas dan BPJS Komisi IX DPRn Soepriyatno saat diskusi publik di Kantor Pengurus Besar IDI yang mengambil tema Sistem Jaminan Sosial Nasional Dalam Perspektif Ekonomi: Premi Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan, Benarkah Akan Mengancam Fiskal Negara?.
Undang-Undang No 24 tahun 2011 tentang BPJS disebutkan bahwa modal awal bagi masing-masing BPJS adalah paling banyak sebesar Rp2 triliun yang bersumber dari APBN. Penetapan angka Rp 2 triliun di dalam UU BPJS tersebut berasal dari pemerintah sendiri dan sudah melalui perhitungan yang matang.
Namun, menurut Soepriyanto, Wakil Menkeu saat rapat kerja dengan Panja Komisi IX mengatakan bahwa pemerintah hanya akan menyediakan modal awal bagi masing-masing BPJS sebesar Rp 500 miliar.
Karenanya besaran modal awal BPJS Rp 500 miliar tersebut patut dipertanyakan karena bila merujuk pada Undang-Undang No.36 Tahun 2009, anggaran kesehatan seharusnya dialokasikan paling sedikit lima persen dari APBN di luar gaji. Ketentuan besaran alokasi anggaran kesehatan dalam APBN seperti yang ditetapkan dalam undang-undang itu belum pernah dilaksanakan oleh pemerintah.
Dia memaparkan data yang menunjukkan bahwa pada 2010 alokasi anggaran kesehatan sebesar 2,39 persen dari APBN, pada 2011 sebesar 2,51 persen dari APBN, pada 2012 sebesar 2,34 persen dari APBN, dan pada 2013 turun menjadi 2,05 persen dari APBN. “Bahkan, dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2014 yang disampaikan kepada Komisi IX DPR, alokasi anggaran kesehatan turun sekitar Rp 10 triliun, dari Rp 34,58 triliun pada 2013 menjadi Rp 24,67 triliun pada 2014 nanti,” ungkapnya.
Oleh karena itu, dia menekankan kembali kepada pemerintah bahwa jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan, merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak dan upaya yang dilakukan untuk terwujudnya kesejahteraan umum. “Dengan anggaran kesehatan yang memadai, kami berharap sistem jaminan kesehatan untuk seluruh warga nantinya dapat memperbaiki mutu dan meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas,” ucap Soepriyatno.
Salah satu program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah Jaminan Kesehatan yang akan berjalan pada 1 Januari 2014 dan dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Jaminan kesehatan akan diberikan kepada seluruh warga negara Indonesia sesuai dengan Undang-Undang SJSN No.40 tahun 2004 dan Undang-Undang BPJS No.24 tahun 2011 tentang BPJS.
Alih Subsidi BBM Untuk Premi Jamkes
Pada bagian lain, Soepriyatno mengusulkan agar pemerintah mengalihkan subsidi BBM untuk meningkatkan anggaran premi jaminan kesehatan (Jamkes). “Dengan akan dikuranginya subsidi BBM, seharusnya pemerintah dapat menghitung ulang kemampuan fiskal Indonesia, kemudian menaikkan premi penerima bantuan iuran (PBI) jaminan kesehatan yang semula direncanakan sebesar Rp 15.500 per orang per bulan,” katanya.
Dengan demikian melalui kenaikan harga BBM, pemerintah dapat menggunakan surplus yang ada untuk kesejahteraan rakyat. “Kalau pemerintah mau menaikkan harga BBM, berarti ada surplus sehingga untuk subsidi BBM ini lebih baik surplusnya digunakan untuk anggaran premi PBI jaminan kesehatan,” ujarnya.
PBI BPJS adalah kelompok masyarakat miskin yang iuran premi kepesertaannya dalam program BPJS untuk bidang kesehatan dibayarkan oleh pemerintah.
DPR sangat memperhatikan penetapan premi PBI BPJS Kesehatan karena Komisi IX berpendapat dalam penetapan premi tersebut harus mempertimbangkan kemampuan fiskal negara serta mendengarkan masukan dari seluruh pemangku kepentingan dalam pelayanan kesehatan, seperti pihak rumah sakit, dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya.
“Kami sepakat dengan usulan IDI bahwa penetapan premi PBI BPJS kesehatan harus memperhatikan segala aspek, termasuk kesejahteraan tenaga kesehatan. Hal itu, disebabkan premi jaminan kesehatan yang memadai dan sesuai dengan nilai keekonomian dan profesionalitas tenaga kesehatan akan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat,” katanya.
Oleh karena itu, Panja Jaminan Kesehatan DPR belum menyetujui besaran premi PBI yang diusulkan Kementerian Keuangan, yaitu Rp 15.500. “Kalau dengan premi PBI sebesar Rp 15.500 itu, saya kira pemerintah lebih baik datang ke DPR dan bilang tidak sanggup menjalankan BPJS daripada negara ini kacau,” kata Soepriyatno.
Senada dengan itu, IDI pun menolak usulan pemerintah yang menetapkan premi penerima bantuan iuran (PBI) jaminan kesehatan sebesar Rp 15.500, karena dinilai belum cukup untuk penyediaan pelayanan kesehatan yang memadai.
“Pengurus Besar IDI menyatakan sikap menolak usulan premi PBI sebesar Rp 15.500 per orang per bulan, karena berakibat tidak memadainya pelayanan kesehatan dan tidak mampu mendorong persebaran tenaga kesehatan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial kesehatan,” kata Ketua Umum Pengurus Besar IDI Zaenal Abidin.
Dengan alokasi premi PBI yang dinilai masih rendah, yaitu Rp 15.500, untuk kelompok tertentu justru berpotensi menimbulkan diskriminasi terhadap masyarakat miskin. “Besaran premi jaminan kesehatan PBI itu tidak memberikan nilai keadilan sosial bagi rakyat lemah dan miskin. Selain itu, terkesan pemerintah hanya memberi alokasi dana seadanya,” ujarnya.
IDI mendesak pemerintah untuk memenuhi kewajibannya melindungi yang lemah serta mengangkat harkat dan martabat rakyat miskin dan sakit-sakitan dengan membayarkan premi jaminan kesehatan yang pantas. “Menurut kami, besaran premi yang pantas adalah menggunakan best practice PT Askes untuk golongan I dan II dengan premi Rp 38.231 per orang per bulan. Atau setidaknya dengan batas minimal sesuai usulan DJSN sebesar Rp 27.000,” kata Zaenal.