Ketua Komisi II DPR RI Agun Gunadjar Sudarsa menyatakan tidak ada lagi yang harus diperdebatkan terkait Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta karena saat ini yang tersisa hanya proses implementasinya.
“Tahap menyusun sudah selesai, sudah tidak ada lagi yang diperdebatkan. Sekarang tinggal berkonsentrasi terhadap bagaimana pengaplikasiannya,” katanya dalam Forum Diskusi Keistimewaan DIY dan Substansi Perda Instimewa di Yogyakarta, belum lama ini.
Menurut dia aspek keistimewaan tambahan DIY dibanding daerah lain yakni kebudayaan, penetapan kepala daerah, kelembagaan pemerintah, bidang pertanahan dan tata ruang dapat diimplementasikan dengan baik. Hal itu diharapkan menjadi penopang peradaban baru Yogyakarta sebagai daerah istimewa.
Agun menjelaskan bahwa dalam substansi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan (UUK) DIY juga tidak ada pengahapusan gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah. “Pemerintah pusat tidak menghapuskan gelar itu. Dalam UUK hanya dilakukan penyesuaian,” katanya.
Menurut dia, substansi yang seharusnya menjadi perhatian penting pemerintah daerah serta masyarakat adalah bagaimana membuat implementasi istimewa terasa di semua lini. “Bagaimana membuat orang yang datang ke Yogyakarta merasa berbeda. Baik dalam sistem pemerintahannya, kebudayaannya, lingkungan atau tata ruangnya,”katanya.
Sementara itu Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Pratikno mengatakan Keistimewaan Yogyakarta harus menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia. Menurut dia dengan Keistimewaan itu seharusnya DIY dapat menjadi barometer Indonesia. “Kalau Indonesia sedang kebablasan, DIY dapat menjadi pengeremnya,” katanya.
Menurut dia, hal itu, dapat dicontohkan misalnya dalam sistem pertanahan. Dengan tanah kasultanan serta tanah Paku Alaman dapat diprioritaskan untuk pemenuhan kesejahteraan lingkungan. “Misalnya kalau daerah lain sudah tidak memiliki tanah untuk ruang terbuka hijau karena sudah dibeli oleh pemilik modal. Yogyakarta masih punya karena tanahnya tidak diperjualbelikan,” katanya.