Muktamar Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Bandung awal Juni 2011 masih membekas di benak Akhmad Muqowam. Saat itu, politisi senior PPP ini menggalang dukungan untuk melengserkan Suryadharma Ali dari kursi ketua umum. Tapi, langkahnya kandas. Suryadharma Ali mapan di kursinya.
Sejak nekat melawan sang ketua, Muqowam langsung digoyang. Posisinya sebagai ketua Komisi IV DPR dicopot sebulan sebelum muktamar berlangsung. Ia digantikan Romahurmuziy yang kemudian naik dari Wasekjen menjadi Sekjen PPP. Muqowam digeser ke Komisi II dan tak lagi dikasih posisi penting di kepengurusan pusat partai.
Setelah dua tahun berselang, kelahiran Salatiga ini sempat mengira persaingan dalam muktamar telah berakhir. Ternyata, tidak. Saat mengisi formulir caleg sementara PPP, pertengahan April lalu, efek persaingan itu terasa lagi. Ia yang punya konstituen di dapil Jawa Tengah X (Pekalongan, Pemalang, dan Batang) disodori formulir untuk dapil Jateng VII (Cilacap dan Banyumas).
"Waduh! Kalau ditempatkan ke Jateng VII, silakan diisi sama yang lain saja, deh," katanya bersungut-sungut.
Tak sudi digeser-geser, Muqowam banting setir jadi calon senator. Ia mengaku sudah mengantongi 5.555 suara dukungan dari Yogyakarta agar dapat duduk di DPD RI. Meski begitu, ia menegaskan tetap setia pada partai berlambang Ka’bah. Maklum, dari situlah karir politiknya dibangun sejak 1990-an.
"Sejarah kan semua orang juga tahu. Tidak bisa dihapus," kata pria yang pernah mengajar sekolah menengah di Semarang, Jawa Tengah.
I Gede Pasek Suardika, politisi Partai Demokrat, juga pindah jalur ke DPD. Ia mengantongi 6.666 dukungan masyarakat Bali dari 2.000 suara yang disyaratkan. Seperti Muqowam, kepindahannya ke jalur DPD disebabkan situasi internal partai.
Pasek sejatinya adalah politisi andalan Demokrat. Dia masuk ke Senayan karena menggantikan Jero Wacik yang diangkat menjadi Menteri Pariwisata—kini menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Ditugaskan di Komisi X, ia langsung terlibat dalam perumusan RUU Cagar Budaya hingga disahkan jadi UU. Dipindahkan ke Komisi II, ia pun turut berhasil menggolkan UU Pemilu pada 2011. Ia lantas dipercaya menjadi ketua Komisi III menggantikan Benny K Harman yang dipindah ke Komisi VI.
Namun, ia tersingkir dari arus utama partai saat pasang badan membela sang ketua umum, Anas Urbaningrum, yang terjeret kasus hukum. Terang-terangan menemani Anas keliling pasar saat kongres Partai Demokrat digelar di Hotel Grand Inna Beach, Bali, Pasek makin dijauhi rekan-rekan separtainya. Tak pelak, ia tersingkir dari kepengurusan partai yang kini dikuasai kubu sang pendiri, Susilo Bambang Yudhoyono. Buntutnya, nama Pasek tak masuk dalam daftar utama caleg Demokrat.
Selain Muqowam dan Pasek, Ibrahim Sakti Batubara (PAN) dan Sidarto Danusubroto (PDIP) juga ingin kembali ke Senayan melalui jalur DPD. Sejumlah anggota Dewan lainnya juga demikian. Bedanya, tak semua pindah jalur karena tergusur dari partai.
Politisi Golkar, Murad U Nasir, mengaku ingin memberi kesempatan kepada kader lain untuk duduk di DPR. Maklum, pria kelahiran Banggai, Sulawesi Tengah, 30 Juni 1944, ini sudah bernaung di bawah partai beringin sejak 1972. Berbekal 4.000 suara dukungan, anggota Komisi II DPR ini ingin memperjuangkan daerahnya melalui DPD. Ia yakin sanggup melakoni peran itu karena sudah punya banyak kolega di Senayan.
"Saya juga memiliki pengalaman menjadi Ketua DPRD Sulawesi Tengah selama dua periode sehingga paham tentang daerah saya dan masalah-masalah mendasarnya," ujar Murad kepada JurnalParlemen, akhir April lalu.
Tetap digadang oleh partainya untuk jadi calon legislatif, Eddy Sadeli malah mendaftar jadi calon senator. "Kalau di DPR lagi saya sudah nggak kuat. Saya ke DPD saja biar lebih santai," kata anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat ini sembari mengatur napas.
Bisa Layu Sebelum Berkembang
"Buat apa ke DPD?"
Pertanyaan itu meluncur dari mulut Elnino Husein Mohi, anggota DPD asal Gorontalo, Sulawesi Tenggara. "Di DPD kan kurang kerjaan. Lebih banyak menganggur," lanjutnya.
Kewenangan DPD tidak sebesar dan seleluasa DPR. Para senator hanya dibutuhkan jika parlemen membahas anggaran dan aturan terkait daerah. Wajar bila kemudian kinerja DPD terdengar sayup-sayup. Sebab itu, Elnino enggan masuk lagi ke ruang senator pada periode mendatang. Ia kini jadi caleg Partai Gerindra untuk dapil Gorontalo.
Didapuk jadi wakil ketua rupanya tak membuat Laode Ida kerasan di DPD. Ia ingin berpindah jalur ke DPR. Gayung bersambut, PAN menawarinya jadi caleg untuk daerah Sulawesi Tenggara. "Saya dibujuk tokoh yang saya hormati, Pak AM Fatwa," katanya saat jumpa pers di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (9/4).
AM Fatwa sendiri tetap memilih DPD setelah pernah merasakan dua kali periode menghuni ruangan Fraksi PAN. "Jadi anggota DPD itu punya kewenangan dan pekerjaan. Saya tetap sibuk setiap hari," kilahnya.
Anggota DPD lain mengikuti jejak Elnino dan La Ode Ida. Sebut misal, dua senator dari Kalimantan Timur, Luther Kombong yang nyaleg dari Gerindra dan Awang Ferdian yang maju dari PDIP. Nama lainnya, Aida Zulaikha Ismeth Nasution, senator dari Kepulauan Riau, yang akan bertarung melalui Partai Demokrat.
Istibsjaroh, senator dari Jawa timur, mengaku dilamar banyak parpol. Tapi ia lebih suka bekerja di DPD. Selain menuruti nasihat keluarga, Bu Professor ingin menjaga amanat konstituennya yang sebagian besar berasal dari kalangan perempuan. Dosen Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya ini aktif di organisasi Muslimat NU dan ikatan persaudaran qari-qariah.
Bambang Soeroso, senator asal Bengkulu, berusaha semampunya bertahan agar tak tergusur dari DPD. Rajin mengkampanyekan amendemen kelima UUD 1945, ia berpendapat bahwa DPD dan DPR berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Jika terpilih lagi, ia akan memperjuangkan agar DPD tak lagi disepelekan DPR. "Idealnya, kedua lembaga ini masing-masing punya kewenangan yang sama," katanya.
Apa pun alasan mereka, pengamat politik Hanta Yuda AR menilai, motif utama mereka yang pindah jalur dari DPR ke kursi DPD adalah pelarian semata. Jelasnya, posisi mereka tergusur tapi tak ingin mundur dari aktifitas politik praktis. "Mereka ingin tetap di Senayan, tapi citra lembaga DPR telanjur tidak baik di mata publik. Sementara DPD masih lumayan bagus," katanya.
Memang, kata dia, ada politisi yang benar-benar ingin mewakili daerahnya. Aspirasi masyarakat daerahnya sulit disuarakan di DPR sehingga mereka mengalihkan medan perjuangan melalui DPD. Apalagi kini kewenangan DPD makin diperkuat.
Namun, ia mengingatkan, fenomena anggota DPR berbondong-bondong ke DPD bisa memunculkan masalah baru. Praktik perburuan rente dan menjadikan daerah sebagai ‘lahan bisnis’ adalah hal yang harus diwaspadai dari DPD baru nanti. Hanta mengkhawatirkan perilaku buruk anggota DPR berpindah ke DPD.
"Kalau sudah begitu, bisa layu sebelum berkembang nanti," tandasnya.