Pengaturan gratifikasi seks yang akan digagas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai tidak akan mudah diterapkan. Pasalnya, ada banyak hambatan yang bakal ditemui lembaga antikorupsi itu.
Salah satunya adalah pembuktian atas penerimaan gratifikasi seks. Anggota Komisi III DPR Nudirman Munir mengatakan, KPK bakal menghadapi tugas berat untuk membuktikan gratifikasi seks ini. Menurut dia, banyak kendala jika aturan gratifikasi seks diberlakukan. Misalnya persidangan harus digelar tertutup, sebab ini menyangkut asusila.
Bahkan, ujarnya, akan banyak tersangka yang mengaku suka sama suka nantinya. “Kalau alasannya ini, apa ya masuk domain suap? Apalagi kalau suka sama suka? Ini delik asusila, maka sidang harus tertutup,” ungkap Nudirman di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, kemarin.
Menurut Nudirman, wacana pengaturan gratifikasi seks ini bisa saja diteruskan jika KPK bisa menyusun skema agar alat bukti yang dikumpulkan lengkap. Kebiasaan KPK selama ini, ujar dia, adalah mengumumkan tersangka yang diduga terlibat dalam perkara korupsi dengan disertai bukti kuat.
Kebiasaan KPK ini, ujarnya, sulit diterapkan dalam dugaan gratifikasi seks, karena dalam perkara kesusilaan biasanya nama para pihak yang tersangkut disembunyikan dan dilakukan dalam sidang tertutup. “Yang terjadi nanti malah tarik-menarik kewenangan kalau aturan itu diterapkan,” paparnya.
Sebelumnya diberitakan, KPKsegera merumuskan aturan terkait gratifikasi seks. Gratifikasi jenis ini belum ada dalam aturan. Yang ada selama ini hanya aturan gratifikasi dalam bentuk nilai rupiah. Menurut KPK, seharusnya aturan terkait gratifikasi dapat mencakup pada potensi munculnya gratifikasi dalam bentuk lain salah satunya gratifikasi seks.
Pengertian gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12 B UU No 20/2001 adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma. Salah satu negara yang sudah menerapkan aturan gratifikasi seks dalam aturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah Singapura.
Hingga kini, sudah ada kepala BNN dan menteri pertahanan Singapura yang dituntut ke pengadilan karena dianggap melanggar pasal gratifikasi seks. Pengamat hukum pidana Universitas Trisakti Yenti Ganarsih mengatakan, pemberian layanan seksual bukan hal baru dalam urusan suap-menyuap. Dalam suatu proyek, ujarnya, biasanya para pihak akan memberikan apa saja agar bisa mendapatkan tender, termasuk menyediakan layanan seksual.
Yenti mengaku, dalam suatu persidangan, dirinya pernah menjadi saksi ada suatu bank yang uangnya habis untuk membayar berbagai layanan seksual. Hanya, menurut Yenti, pembuktiannya memang sulit didapat, sebab untuk membuktikan kejahatan ini paling tidak harus ada tiga unsur, yakni pelaku, yaitu orang yang memberi gratifikasi; pejabat yang disuap, dan pelayan seksualnya.
Namun, lanjutnya, biasanya pelaku prostitusi dalam perkara ini tidak pernah tersentuh. “Bisa saja dibuktikan, bahwa ada pejabat datang ke suatu tempat dan ada orang yang mempunyai hubungan dan ada perempuan atau laki-laki pemberi layanan seksual,” ujarnya.