Beban pekerjaan, kesulitan ekonomi, persoalan di sekolah atau di tengah pergaulan bisa memicu stres dan bahkan depresi yang berujung pada terjadinya gangguan kejiwaan. Hal ini sesungguhnya harus dideteksi dan ditanggulangi sejak dini. Begitu kata anggota DPR RI Ledia Hanifa Amaliah.
Dalam rilisnya, Rabu (10/10), anggota Dewan yang juga master psikologi terapan ini menyatakan, gangguan kesehatan jiwa pada masyarakat bisa berimbas pada penurunan kualitas hidup masyarakat di masa datang. "Orang yang penuh tekanan, kecemasan, bisa muncul menjadi pribadi yang agresif, sulit bersosial, mudah curiga dan lain-lain. Lama-lama bisa terkikislah karakter masyarakat Indonesia yang dulu dikenal santun, ramah, dan relijius itu," kata Ledia.
Sayangnya masyarakat sendiri masih asing dengan istilah gangguan kejiwaan. Umumnya masyarakat memahami gangguan kejiwaan dengan kondisi 'gila' yang sebenarnya merupakan gangguan kesehatan jiwa kelas berat. Padahal, gangguan kejiwaan itu sangat luas cakupannya, meliputi sekumpulan gejala psikologis dan perilaku membuat seseorang mengalami penderitaan dan mengalamai penurunan fungsi sehari-hari seperti fungsi bersosialisasi, belajar, bekerja, merawat diri dan lain-lain. mulai dari kecemasan, stres, depresi, panik lantas schizophrenia hingga tindakan bunuh diri.
Karena itu, Ledia meminta pemerintah lebih memperhatikan masalah gangguan kejiwaan ini dengan menyediakan sarana, akses dan ketersediaan tenaga kesehatan bagi pelayanan gangguan kesehatan lebih banyak dan merata di seluruh wilayah Indonesia, termasuk dengan secara bertahap dilatih untuk sigap mendeteksi dan melayani pasien yang datang dengan gangguan kejiwaan.
"Bisa saja gejala yang nampak atau dilaporkan itu seperti sakit kepala atau pusing biasa atau gangguan pencernaan, sulit tidur, sulit berkonsentrasi, lelah, lesu, tetapi tenaga kesehatan yang terlatih bisa mendeteksi dan menggali kemungkinan adanya gangguan kejiwaan pada pasien sehingga bisa diatasi sejak dini," katanya.
Politisi PKS ini berharap pendeteksian gangguan kejiwaan sejak dini ini bisa secara siginifikan mengurangi masalah-masalah sosial yang kini banyak terjadi di tengah masyarakat. "Anak-anak yang suka tawuran, masyarakat yang mudah tersulut emosinya untuk bertindak anarkis, orang-orang yang gampang tersinggung, saling curiga, malas bergaul, atau remaja yang labil hingga gampang terpengaruh bujukan orang seperti dari kenalan di facebook, insya Allah bisa diatasi dan diminimalisir salah satunya dengan upaya agar stres, kecemasan atau masalah yang membebani diri mereka bisa dideteksi dan diatasi sejak dini," paparnya.
Masalah gangguan kesehatan jiwa di Indonesia memang belum banyak meraih perhatian. Jangankan oleh masyarakat awam, bahkan dari sisi tenaga kesehatan dan pemerintah pun belum nampak mementingkan persoalan penjagaan kesehatan jiwa ini. Hal ini misalnya bisa dilihat dari minimnya akses layanan dan sumber daya kesehatan bagi penderita gangguan kejiwaan.
Dari sekitar 16 ribu puskesmas di seluruh Indonesia misalnya, hanya sekitar 2 ribu puskesmas yang telah siap memberikan pelayanan kesehatan kejiwaan. Tenaga kesehatan pun banyak yang belum tanggap pada situasi gangguan kejiwaan dari seorang pasien yang datang dengan keluhan-keluhan yang mirip gejala sakit fisik biasa.
Padahal informasi dari Dirjen Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan, pada 2011 lalu saja ada sekitar 17,4 juta jiwa penduduk dewasa di Indonesia yang menderita gangguan kejiwaan dan angka ini ditengarai terus meningkat dari tahun ke tahun.