Ekonomi Indonesia rentan terhadap kenaikan harga minyak, baik dari sisi fiskal maupun dari sisi makro ekonomi. Hal ini disampaikan oleh Ecky Awal Mucharam, anggota Badan Anggaran DPR RI menyikapi gejolak harga minyak dunia yang terjadi di awal tahun 2012 ini. Terkait hal ini, menurut Ecky, pemerintah harus berhati-hati menghadapi tahun 2012.
"Risiko eksternal bukan hanya berasal dari penurunan ekspor akibat pelemahan daya beli Eropa, tapi juga dari risiko kenaikan harga minyak akibat ketegangan Iran dan Amerika yang semakin memuncak," ujar Ecky dalam rilisnya yang diterima Jurnalparlemen.com, Kamis (5/1).
Menurut anggota F- PKS ini, kenaikan harga minyak yang drastis akan memukul APBN, karena melonjaknya beban subsidi energi. Selain itu, inflasi akan meningkat karena mobil pribadi tidak akan lagi dapat subsidi.
"Jadi, inflasi yang kemarin dibanggakan terendah di Asia Pasifik itu artifisial, karena didukung oleh subsidi energi ratusan triliun. Kita jangan terlena, karena rentan oleh kenaikan harga minyak," ujar Ecky.
Menurut Ecky, salah satu risiko eksternal adalah harga minyak tidak dapat kita kendalikan. Jika ini terjadi, maka yang bisa kita lakukan hanyalah memastikan agar lifting minyak mencapai target dan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi dapat dilakukan dengan disiplin. Sehingga dampak kenaikan harga minyak terhadap APBN dan inflasi dapat diminimalisir.
"Lifting kemarin hanya 898 ribu barel per hari, sangat jauh dari target. Pemerintah harus kerja keras untuk tahun ini. Apalagi harga minyak mentah Indonesia (ICP) masih berada di kisaran 110 dolar per barel, jauh di atas asumsi APBN 2012 yang hanya 90 dolar per barel," tutup Ecky.