Pemerintah dinilai sangat reaktif dalam menyikapi kenaikan minyak mentah dunia. Implikasi negatif atas penerapan kebijakan penggunaan pertamax sangat kurang diperhitungkan.
Hal itu dikatakan oleh politikus PDI Perjuangan sekaligus anggota Komisi VII DPR-RI Bambang Wuryanto kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (23/12/2011) malam.
Sebagaimana diketahui, pemerintah berencana menerapkan aturan mulai April 2012 semua plat mobil hitam harus mengkonsumsi pertamax (BBM yang masuk kategori nonsubsidi).
Ini terjadi karena kenaikan harga minyak mentah dunia diseputaran angka USD100 per barel yang kemudian mengakibatkan subsidi BBM bakal membengkak dari estimasi Rp126 triliun akan menjadi Rp198 triliun di 2012. Selain itu, mengganti premium dengan Bahan Bakar Gas (BBG) untuk wilayah Sumsel, Jawa, dan Bali.
"Opsi reaktif pemerintah tersebut dikuatirkan memberikan implikasi-implikasi negatif terhadap rakyat pengguna premium, pebisnis SPBU, dan Pertamina," kata Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan itu.
Karena bila hal itu diterapkan, kata Wuryanto, akan memberikan 'pekerjaan besar' untuk PT Pertamina (Persero) dan pemilik SPBU.
"Sebab SPBU milik swasta dan pertamina harus menyiapkan dispenser pertamax. Ada sekira 4.000 ribu lebih SPBU yang belum punya dispenser. Investasi satu dispenser sekira Rp2 miliar artinya akan butuh investasi sekira Rp8 triliun," papar Wuryanto.
Repotnya, yang harus membayar penyiapan dispenser itu adalah para pemilik SPBU.
"Siapa yang membayar nantinya? Ya para pemilik SPBU sendiri. Hal ini jelas sangat memberatkan bagi para pengusaha SPBU kecil," jelasnya.
Problem berikutnya, adalah harga pertamax SPBU di bawah Pertamina tidak akan dapat bersaing dengan harga pertamax SPBU asing seperti Shell, Petronas, dan lain-lain.
"Hal ini bisa diindikasikan bahwa kebijakan tersebut akan menguntungkan SPBU asing dan menghancurkan Pertamina. Lebih tegasnya, memperluas segmen pasar SPBU asing dan menciutkan pasar Pertamina," papar Wuryanto.
Persoalan lainnya semua plat hitam harus pakai pertamax. Sementara fakta hasil riset di Jabodetabek menyebutkan, pemilik mobil mewah hanya 1,4 persen, sementara pemilik mobil di bawah harga Rp200 juta lebih dari 54 persen.
"Ini jelas akan memberatkan para pemilik mobil tersebut karena mereka sangat besar kemungkinan tidak punya tabungan untuk bensin," kata Bambang.
Belum lagi bahwa mobil mobil bak terbuka (angkutan sayur, bahan-bahan di pasar tradisional) masih berplat hitam. Hal ini akan mengakibatkan efek inflasi bagi bahan bahan kebutuhan pokok yang sudah sangat tajam naik harganya.
Wacana mengubah premium ke BBG, ini akan lebih parah lagi, menurut Wuryanto karena meskipun masuk akal tapi dari segi penyiapan dispenser di tiap SPBU, converter di tiap mobil dan pengiriman BBG ke tiap SPBU, belum lagi analisis suplai gasnya.
"Artinya, untuk kebijakan ini perlu penyiapan infrastruktur yang lebih teliti lagi," tegasnya.