DPD Gugat UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengingatkan, perimbangan keuangan pusat - daerah sangat menentukan harmoni hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebab, keuangan merupakan salah satu aspek penting hubungan selain kewenangan, kelembagaan, dan pengawasan.

Demikian Cholid Mahmud, koordinator merangkap anggota tim DPD dalam sidang uji materi UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU 33/2004) terhadap UUD 1945 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, kemarin.

Perimbangan keuangan ini dinilai penting agar kebijakan fiskal dan pengaturan bagi hasil minyak dan gas bumi (migas) berimbang pula. "Bagi hasil tidak saja masalah daerah penghasil migas tetapi juga daerah penghasil pertambangan dan sumberdaya alam lainnya. Jadi, hendaknya dicari dan ditetapkan formula yang proporsional," ujar Cholid.

Cholid dalam kesempatan itu juga membacakan keterangan DPD terkait judicial review yang diajukan Luther Kombong dan Bambang Susilo, anggota DPD asal Kalimantan Timur (Kaltim) itu.

Menurut Cholid, perbedaan pengaturan bagi hasil dalam UU 33/2004 dan UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua dan UU 11/ 2006 tentang Pemerintahan Aceh belum sepenuhnya dipahami daerah. "Kemiskinan yang bertahan di daerah penghasil tambang membuktikan bahwa kegiatan pertambangan tidak bermanfaat bagi daerah dan masyarakatnya. Malah menjadi masalah sosial yang parah. Sumberdaya alam yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan ternyata menjadi sumber bencana," tuturnya.

DPD, kata Cholid, sangat memahami dalil pemohon dan legal standing-nya selaku warganegara yang dirugikan hak konstitusionalnya karena frasa 84,5 persen untuk pemerintah dan 15,5 persen untuk daerah serta frasa 69,5 persen untuk pemerintah dan 30,5 persen untuk daerah dalam Pasal 14 huruf e dan f UU 33/ 2004.

Anggota DPD asal Kaltim, Luther Kombong, mengungkapkan, 17 provinsi saat ini juga siap menjadi saksi fakta, terutama soal ketertinggalan pembangunan dibandingkan kontribusi dari daerah itu kepada negara. Saat ini daerah hanya menerima 15,5 persen dari minyak dan 30,5 persen dari gas. "Ini sa ngat jomplang dengan Aceh dan Papua yang menerima masing-ma sing 70 persen untuk migas," katanya membandingkan.

Luther tak habis pikir mengapa Kaltim menyumbangkan Rp 200 triliun ke kas pemerintah setiap tahun tapi kebagian tak sampai sepuluh persen dari total penerimaan sektor migas dari provinsi berpenduduk 3,3 juta jiwa ini. Padahal, Kaltim mengalami banyak ketertinggalan, terutama infrastruktur, khususnya jalan dan jembatan, pendidikan, kesehatan, serta ketertinggalan di perbatasan.

Pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin mengingatkan semua daerah penghasil migas agar bersuara tegas kepada pusat soal kewenangan menetapkan bagi hasil migas.

Ia mengatakan, kewenangan itu harus ikut digugat, agar pusat tak lagi menetapkan bagi hasil migas itu semaunya sendiri. "Kita sudah lihat apa yang terjadi di Aceh dan Papua. Mereka memperoleh bagi hasil jauh lebih besar, setelah ada perlawanan dari masyarakat di sana. Saya pikir Kaltim dan daerah lain tak perlu begitu. Asal pusat sungguh-sungguh memperhatikan langkah konstitusional yang dilakukan Kaltim ini," katanya.

Diposting 23-12-2011.

Dia dalam berita ini...

Luther Kombong

Anggota DPD-RI 2009-2014 Kalimantan Timur