[JAKARTA] DPR dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mewacanakan perlunya sebuah Undang-Undang (UU) yang mengatur pengendalian laju pertambahan penduduk dengan mengatur pembatasan jumlah anggota keluarga. Wacana ini didengungkan mengingat laju pertumbuhan penduduk Indonesia Indonesia mencapai 1,49% atau terjadi penambahan 4-5 juta penduduk setiap tahun. Ini dinilai sudah pada ambang mengkhawatirkan.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IX DPR dengan BKKBN di Jakarta, Senin (28/11), kedua belah pihak sepakat untuk mengkaji wacana UU tersebut dan segera menyusun naskah akademisnya. UU tersebut awalnya disepakati sebagai UU pembatasan jumlah anggota keluarga, namun wacana tersebut mendapat penolakan dari Fraksi PKS yang diwakili Arif Minardi. Ia menolak dengan alasan pembatasan melanggar HAM seseorang untuk memiliki anak banyak. "Saya tidak sepakat kalau ada pembatasan jumlah anak, saya minta ini difotting," katanya.
Sementara sebagian besar fraksi sepakat mesti ada pembatasan. Sebab jika hanya dengan pengaturan terlalu lemah dan tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap pengendalian peduduk. Meskipun sempat terjadi perdebatan antara pembatasan dan pengaturan, akhirnya rapat tersebut menyepakati wacana UU pengendalian penduduk dengan membatasi jumlah anggota keluarga segera ditindaklanjuti.
Kepala BKKBN Sugiri Syarief mengatakan menyambut baik wacana ini, terutama agar Indonesia memiliki bentuk skenario kependudukan yang lebih terperinci. Dengan UU ini nantinya bisa mengatur laju pertumbuhan penduduk di tiap provinsi atau memberikan patokan jumlah penduduk bagi setiap kabupaten dan kota.
Kebijakan kependudukan dan program KB di setiap provinsi sebaiknya juga berbeda disesuaikan dengan kondisi tiap daerah. Dengan demikian diharapkan bisa memberikan imbas besar dalam upaya menyusun strategi pembangunan.
"Kami menyambut baik wacana pembatasan jumlah anggota keluarga, dan mesti dimulai dari bapak ibu Komisi IX. Sambil menyusun desain induk kependudukan, UU pengendalian terlebih dahulu dikaji. Karena untuk melangkah maju perlu dipandu UU, supaya daerah juga mau bergerak karena perintah UU," katanya.
Menurutnya, program KB sendiri adalah bersifat pengaturan di mana mengatur jumlah anak atau kelahiran, bukan pengaturan pembatasan jumlah penduduk. Misalnya dengan pengaturan usia perkawinan atau menunda usia kawin pertama. Saat ini usia perkawinan rata-rata 19 tahun, dan akan ditingkatkan mencapai 21 tahun. Dengan cara ini maka upaya menekan laju pertumbuhan penduduk di bawah 1% bisa tercapai.
Di samping juga meningkatkan penggunaan alat kontrasepsi, yang hingga 2011 ini sudah mencapai 61,4% dari seluruh pasangan usia subur, dan akan ditingkatkan juga menjadi 72%. Angka ini sangat berpengaruh terhadap penurunan jumlah penduduk.
"Caranya dengan komunikasi, edukasi dan informasi (KIE) kepada generasi muda dengan memasukan pesan bahwa sekolah itu lebih penting daripada menikah, berkarya dan berprestasi dulu baru kemudian menikah. Itu tema kampanye kita," ucapnya.
Dalam kesempatan itu pula DPR mengkritisi kurang kordinasisinya BKKBN dengan sektor lain, misalnya Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk menggarap para Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Diah Pitaloka dari Fraksi PDI-P mengatakan, sosialisasi, edukasi dan pelayanan KB mesti difokuskan pada kantong-kantong TKI, seperti di Jawa Barat. Angka pernikahan usia dini dan jumlah kelahiran di daerah ini cukup tinggi.
"Perlu ada sinergi untuk sosialisasi di kantong TKI, karena ini seperti lingkaran setan kemiskinan. Anak banyak tidak mampu membiayai sekolahnya, kemudian jadi miskin dan akhirnya jadi TKI juga," katanya.
Namun menurut Sugiri, dari sisi etika dan hukum pemberian alat kontrasepsi kepada para TKI yang bekerja ke luar negeri tidak tepat. Sama artinya dengan memvonis atau mengharapkan mereka diperkosa di tempat kerja. Karena itu, yang dlakukan pihaknya adalah edukasi dan sosialisasi mengenai penundaan usia kawin pertama serta meningkatkan layanan alat KB kepada pasangan usia subur.