Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Bob Hasan, menegaskan pentingnya memastikan perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga (PRT) di dalam negeri melalui Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT. Ia mengingatkan, jangan sampai perhatian hanya tertuju pada perlindungan pekerja migran di luar negeri, sementara PRT di Indonesia tidak mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan yang layak.
"Maka sudah barang pasti di Indonesia sendiri, di dalam negeri kita harus juga melaksanakan satu rancangan undang-undang yang tentunya mengarah kepada perlindungan juga bagi pekerja yang ada di Republik Indonesia ini. Pekerjanya bukan pekerja formal dalam konteks ini adalah pekerja sebagai tenaga kerja, tetapi sebagai pekerja rumah tangga,” tegas Bob Hasan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Baleg DPR RI bersama Ketua Komnas HAM, Ketua Komnas Perempuan, dan Dr. Sabina Satriyani Puspita dari Monash University Indonesia, dalam rangka penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) di Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (20/5/2025)
Bob Hasan menyampaikan bahwa pembahasan RUU PPRT sudah pernah dimulai, tetapi belum tuntas. Sementara, DPR sendiri telah menyelesaikan regulasi untuk perlindungan pekerja migran Indonesia. Hal itu, menurutnya, semakin menegaskan urgensi menyusun aturan hukum bagi PRT yang bekerja di dalam negeri.
“Nah sebenarnya hal inilah yang menjadi satu pemicu kita, dan kemudian perlindungan ini juga harus terbentuknya satu kepastian hukum,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa meski saat ini Indonesia telah memiliki aturan yang mengatur terkait dengan perbuatan hukum yang melawan publik dan maupun juga privat, baik itu pidana maupun perdata, ia berharap adanya RUU ini diharapkan perlindungan itu semakin kuat dan memiliki satu legal standing.
“Oleh karena itu menjadi penting sekali kami memerlukan masukan bagi para narasumber dan tentunya kehadiran para narasumber diperlukan untuk memastikan bahwa RUU ini dapat memberikan pengakuan dan perlindungan hukum yang layak bagi PRT. Hal itu mengingat kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh PRT seperti imbalan yang tidak sesuai, jam kerja yang tidak jelas, dan kurangnya akses terhadap hak-hak dasar,” jelas Politisi Fraksi Partai Gerindra ini
Ia berharap, RUU PPRT, bisa mengakomodasi berbagai masukan dari pakar, masyarakat sipil, dan lembaga negara, termasuk Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Menurutnya, keterlibatan publik dan kalangan akademisi sangat penting agar substansi RUU bisa mencerminkan kebutuhan nyata PRT di lapangan.
“Selain itu narasumber memiliki pengalaman dan menangani isu PRT dan diplomasi internasional dapat memberikan perspektif yang komprehensif untuk memastikan bahwa RUU PPRT dapat memberikan perlindungan yang memadai bagi PRT,” ungkapnya.
Ia juga mendorong keterlibatan dan partisipasi publik agar pengaturan dalam RUU PPRT memperhatikan aspek sosial dan budaya, serta memberikan ruang untuk pelatihan berkelanjutan dan pengawasan implementasi undang-undang di masa mendatang.
“Narasumber yang memiliki pemahaman tentang dinamika sosial dan budaya dapat memberikan masukan yang penting untuk memastikan bahwa RUU PRT dapat diterima dan diimplementasikan dengan baik. Pelatihan khusus dan berkelanjutan bagi PRT serta pengawasan terhadap implementasi RUU undang-undang juga sangat penting untuk memastikan efektivitas RUU PPRT ini,” pungkasnya.