Komisi IX DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama DPRD Kabupaten Cirebon untuk membahas sejumlah persoalan seputar implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan di daerah tersebut. Dalam pertemuan, berbagai isu strategis dibahas, mulai dari capaian Universal Health Coverage (UHC) hingga persoalan data kepesertaan BPJS.
Ketua DPRD Kabupaten Cirebon, Sophi Zulfiah, menyampaikan bahwa cakupan UHC di wilayahnya pada awal tahun ini baru mencapai 74 persen, dari target minimal 80 persen. “Jumlah peserta BPJS Kesehatan di Cirebon mencapai 2,51 juta jiwa, dengan tingkat keaktifan peserta mencapai 99,97 persen. Tapi, yang aktif membayar iuran hanya 74,4 persen,” ungkapnya saat RDPU dengan Komisi IX di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (24/4/2025).
Hal ini, lanjut Sopi, menyebabkan Pemerintah Daerah tidak bisa menikmati fasilitas UHC 1x24 jam, yang berdampak pada banyaknya keluhan masyarakat terkait pelayanan.
Sophi juga mengungkapkan bahwa 21 persen penerima bantuan iuran (PBI) yang ditanggung oleh APBN, atau sekitar 236 ribu peserta dinonaktifkan.
"Dari total 1.2 juta peserta PBI APBN, keaktifannya hanya di angka 78,36 persen, dan 21,64 persen lainnya atau 236 ribu peserta tidak aktif. Kami mohon agar 236 ribu data PBI yang saat ini tidak aktif bisa segera diaktifkan kembali untuk mencapai UHC 80 persen,” tegas Sophi
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafiroh, mengatakan bahwa seluruh data BPJS Kesehatan berasal dari Kementerian Sosial, dan proses pembaruan atau pembersihan data peserta tidak aktif juga sepenuhnya merupakan kewenangan Kemensos. “Kami sarankan DPRD Cirebon berkomunikasi aktif dengan Dinas Sosial agar dapat menelusuri data peserta yang dinonaktifkan, dan memastikan langsung ke BPJS,” tegasnya
Senada, Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Heryawan, menilai bahwa persoalan yang dihadapi Cirebon tidak hanya terjadi secara lokal, melainkan menjadi perhatian nasional. Ia menyebutkan, banyak daerah kini kesulitan menambah jumlah PBI melalui APBD karena sudah tidak adanya ketentuan mandatory spending 5 persen untuk sektor kesehatan.
“Akhirnya terjadi tarik-menarik anggaran, dan ini berpengaruh pada alokasi untuk PBI di daerah,” ujarnya.
Wewenang penonaktifan peserta PBI berada di Kementerian Sosial (Kemensos), dengan basis data dari Dukcapil. Ia mengingatkan pentingnya pengawasan daerah agar tidak terkejut ketika banyak peserta tiba-tiba dinonaktifkan sementara daerah tidak memiliki anggaran yang cukup untuk menangani mereka.
Selain itu, Netty menyoroti penurunan kemampuan membayar premi peserta mandiri yang menyebabkan tingginya angka peserta JKN non-aktif bukan karena tidak mau membayar, melainkan karena ketidakmampuan ekonomi. “Banyak dari mereka sebenarnya tidak bisa membayar karena kondisi ekonomi, bukan karena tidak mau,” katanya.
Ia Lebih lanjut, Netty mengatakan catatan-catatan ini akan menjadi bahan pembahasan dalam Panja JKN menjelang pemberlakuan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) pada Juni 2025. "Ini akan kami bahas dalam Panja JKN menjelang implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang akan dimulai Juni 2025,” ujar Netty.