Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Muhammad Kholid, menyoroti pentingnya pembaruan Undang-Undang Statistik. Hal itu ditegaskannya dalam Rapat Pleno Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil) dalam rangka penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 1997 tentang Statistik.
Dalam forum tersebut, Kholid menekankan bahwa pembaruan UU Statistik harus mampu menyelesaikan persoalan-persoalan krusial yang selama ini muncul akibat perbedaan data antar lembaga pemerintah. Ia mencontohkan polemik klasik seputar data produksi dan kebutuhan beras di Indonesia yang sering kali menimbulkan kebingungan dalam pengambilan kebijakan publik.
"Kementerian Pertanian menyatakan produksi beras mencukupi, Bulog mencukupi, tapi Kementerian Perdagangan bilang kita butuh impor. Lalu data Kementerian Perdagangan dikonfirmasi ke BPS, dan ternyata kita butuh impor. Ini menunjukkan adanya kerancuan dan perbedaan knowledge antarlembaga yang berasal dari data statistik yang tidak seragam," ujar Kholid dalam RDPU Baleg di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (22/4/2025).
Lebih lanjut, Politisi Fraksi PKS ini juga menyoroti pentingnya kesesuaian data statistik nasional dengan standar internasional. Kholid menilai, perbedaan metodologi antara BPS dan lembaga internasional seperti Bank Dunia dalam menetapkan garis kemiskinan (poverty line) telah menjadi perdebatan panjang yang tak kunjung selesai.
"Dulu sering terjadi diskursus panjang soal standar garis kemiskinan. Kenapa World Bank punya standar berbeda dengan BPS? Ini tidak pernah diselesaikan. Misalnya BPS menyebut angka kemiskinan (jumlahnya) 9% persen tapi World Bank bisa dua kali lipat. Metodologinya berbeda, tapi kita butuh kejelasan mana yang jadi acuan kebijakan publik," tegas Anggota Komisi XI ini.
Kholid mendorong agar RUU Statistik mampu menjawab tantangan tersebut, baik dengan memperkuat metodologi nasional yang unik maupun dengan mengakomodasi standar global yang telah diterima secara luas. Ia pun meminta masukan dari BPS terkait langkah-langkah yang bisa diambil agar kebijakan publik berbasis data menjadi lebih presisi dan tidak menimbulkan bias ataupun prasangka terhadap kredibilitas data yang dikeluarkan pemerintah.