Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan menyoroti Pidato Presiden Jokowi pada saat menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2022 di DPR RI pada 16 Agustus 2021. Salah satu poin yang patut disorot adalah rencana pemerintah yang menetapkan defisit anggaran tahun 2022 sebesar 4,85 % dari PDB, atau Rp 868 triliun. Dibandingkan tahun sebelumnya, rencana defisit fiskal ini berkurang, dari sebelumnya 6,34 % (2020) dan 5,7% (2021). Pemerintah juga menyatakan berkomitmen untuk menurunkan batas defisit sampai di angka 3 % dari PDB pada tahun 2023.
Sekilas, rencana fiskal pemerintah ini patut diapresiasi sebab menunjukkan semakin berkurangnya kebergantungan pemerintah terhadap utang luar negeri. Namun demikian, sampai kuartal II 2021, Kementerian Keuangan melaporkan bahwa posisi utang luar negeri sebesar Rp 6554,6 triliun. Angka ini mengisyaratkan bahwa rasio utang terhadap PDB masih di 41,35 %. Ini tentu masih jauh lebih tinggi dibandingkan masa Pemerintahan Presiden SBY yang berhasil menurunkan rasio utang hingga di angka 24 % dari PDB.
“Saya mengapresiasi rencana fiskal di tahun 2022 yang berkomitmen untuk mengurangi defisit anggaran. Ini tentu hal yang baik sebab semakin kecil defisit fiskal, maka APBN akan semakin sehat untuk keberlanjutan kebijakan fiskal dan semakin kecil kebergantungan terhadap utang.Maka tentu kualitas fiskal menjadi semakin sehat dan hal ini telah berkali-kali saya tegaskan dalam berbagai kesempatan. Karenanya, pemerintah harus memastikan bahwa komitmen pengurangan utang ini perlu dituntaskan secara nyata,” ungkap Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini.
Namun di sisi lain, politisi senior Partai Demokrat ini mengingatkan bahwa indikator utang kita masih menyisakan banyak catatan. Pasalnya, Badan Pemeriksa Keuangan mengkhawatirkan kesanggupan pemerintah dalam melunasi pokok utang beserta bunganya yang terus membengkak. Dari audit BPK atas APBN 2020, semua indikator utang yang menunjukkan keberlanjutan fiskal melampaui semua patokan ideal dalam pengelolaan utang. Resiko dan beban utang pemerintah, maupun rasionya terhadap penerimaan negara dan penerimaan transaksi berjalan jauh di atas batas ideal yang seharusnya.
Oleh karena itu, BPK menegaskan bahwa kunci untuk menjaga kualitas dan keberlanjutan fiskal adalah melalui optimalisasi penerimaan negara, terutama pajak. Ini juga lah yang menjadi dilema pemerintah. Realisasi penerimaan pajak pada tahun 2020 hanya sebesar 89,25 % dari target. Pada semester I 2021 ini, Kementerian Keuangan juga melaporkan penermaan pajak hanya di angka 45,36 %. Dengan berbagai pembatasan di masa pandemi, banyak kalangan yang kemudian meragukan penerimaan pajak akan optimal di tahun 2021 ini.
Hal yang sama juga potensial terjadi dengan proyeksi pertumbuhan yang ditetapkan 5 s/d 5,5 % pada 2022. Komitmen ini optimis, namun harus presisi dan realistis. Sebab faktanya, realisasi pertumbuhan selalu meleset dari target. Pada APBN 2020, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan di angka 5,3 %, namun ekonomi malah tumbuh negatif sebesar sebesar -2,07 %. Hal yang sama juga sangat mungkin terjadi di 2021 yang menargetkan ekonomi tumbuh di angka 5 %, namun hingga semester I 2021 praktis ekonomi hanya bertumbuh sebesar 3,3 %.
Secara tahunan dengan berbagai pembatasan aktivitas ekonomi di masa pandemi, Bank Indonesia memprediksi ekonomi hanya tumbuh di angka 3,5 %, begitupun IMF memprediksi di angka 3,9 %.
Sebagai referensi pada Pemerintahan Presiden SBY, Indonesia berhasil menekan rasio utang hingga di angka 24 % dan memacu ekonomi tumbuh konsisten di atas rata26,0 %. Indonesia kala itu menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan tertinggi di dunia setelah China dan India. Ini tentu mensyaratkan kreativitas dan inovasi pemerintah untuk menggali dan mengoptimalisasi sumber-sumber penerimaan dalam negeri, terutama pajak. Jika pemerintah mampu melakukan ini, maka kebergantungan terhadap utang dapat dikurangi,” tutup Syarief.