ANGGOTA Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Hendrawan Supratikno menilai, peningkatan utang yang dilakukan pemerintah di masa pandemi covid-19 tak perlu ditanggapi dengan kepanikan dan merasa berang. Sebab, pandemi memang memberi dampak buruk bagi perekonomian.
Untuk itu, dia menilai, adanya peningkatan utang selama pandemi merupakan hal lumrah yang dilakukan pemerintah.
"Dalam kondisi pandemi dan resesi, ekonomi kita berhadapan dengan badai yang sempurna (perfect storm). Semua indikator mengalami pemburukan, termasuk utang. Kita sudah tahu dan sudah kita antisipasi dengan UU 2/2020. Tidak usah panik dan berang," tuturnya saat dihubungi, Rabu (23/6).
Di masa pandemi ini pula, menurut Hendrawan, hal yang mesti dilakukan ialah perbaikan manajemen pemerintahan. Gejolak akibat wabah dinilai dapat menjadi momentum perbaikan kinerja pemerintah, utamanya dalam penganggaran.
"Ini kesempatan melakukan perubahan-perubahan mendasar. Kualitas belanja kita tingkatkan. Pemborosan dan hal-hal yang tidak produktif, kita pangkas," jelasnya.
Sebelumnya, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna dalam Rapat Paripurna di DPR, Selasa (22/6). Agung menyampaikan kekhawatiran pemerintah tidak mampu membayar utang yang selama pandemi covid-19 mengalami peningkatan.
"Tren penambahan utang memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," kata Agung.
Pasalnya, pada 2020 utang pemerintah Indonesia telah melampaui batas yang direkomendasikan International Monetary Fund (IMF) maupun International Debt Relief (IDR). Tercatat rasio debt service Indonesia terhadap penerimaan sebesar 46,77%, melampaui rekomendasi IMF di angka 25%-35%. Lalu rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan tercatat 19,06%, melampaui saran IDR di angka 4,6%-6,8% dan rekomendasi IMF 7%-10%.
Indikator kesinambungan fiskal tahun 2020 tercatat sebesar 4,27%, juga melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 - Debt Indicators yaitu di bawah 0%.
Sepanjang 2020, utang pemerintah sudah mencapai Rp 6.074,56 triliun. Posisi utang ini betul meningkat pesat dibandingkan dengan akhir tahun 2019 yang tercatat Rp 4.778 triliun.
Selain itu selama 2020 pula pendapatan negara dan hibah mencapai Rp1.647,78 triliun atau 96,93% dari anggaran. Sedangkan realisasi belanjanya mencapai Rp2.595,48 triliun atau 94,75%. Dengan demikian, fiskal mengalami defisit sebesar Rp947,70 triliun atau sekitar 6,14% dari PDB.
Adapun realisasi pembiayaan 2020 mencapai Rp1.193,29 triliun atau sebesar 125,91% dari nilai defisit. Dus, terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp245,59 triliun. Artinya, keta Heri, pengadaan utang Tahun 2020 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit.
Terpisah, anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan mendorong agar BPK mengaudit utang yang dilakukan pemerintah, utamanya pada sisa anggaran lebih dari utang yang dipinjam pengambil kebijakan. Sebab, untuk mencegah defisit kian melebar, perlu dilakukan penghematan yang selama ini dinilai belum terlihat.
"Dalam pembukuan pemerintah pusat, keseimbangan primer merupakan selisih antara pendapatan dengan belanja negara, tapi belum memasukkan pembayaran bunga dan pokok utang. Jika keseimbangan primer itu ditambah dengan pembayaran bunga utang, kemudian disebut sebagai neraca anggaran, defisitnya kian dalam," jelas Heri.
Namun di lain sisi, dia juga meminta hendaknya BPK melihat utang pemerintah secara komprehensif dalam kerangka penilaian laporan keuangan pemerintah secara keseluruhan.
"Memang pandemi covid-19 telah meningkatkan defisit, utang, dan sisa lebih penggunaan anggaran yang berdampak pada pengelolaan fiskal, namun sebaiknya BPK juga perlu melihat UU 2/2020 sebagai dasar hukum pembengkakan defisit tersebut," jelas Heri.
Dia juga menyayangkan BPK hanya menyebut Perpres 72 dan UU Keuangan Negara. Padahal kedua aturan tersebut terkait dengan Perppu No. 1/2020 yang sudah ditetapkan menjadi UU No. 2/2020.