Reformasi birokrasi yang didengung-dengungkan oleh pemerintah masih sebatas pencitraan saja, terbukti praktek pejabat negara yang merangkap sebagai Komisaris BUMN justru merajalela.
Fenomena rangkap jabatan ini ditengarai juga dapat memicu konflik kepentingan dan korupsi. "Sangat tak adil. Masih banyak anggota masyarakat yang mungkin lebih cakap. Masak iya, sejumlah jabatan strategis BUMN hanya diduduki oleh segelintir orang saja," cetus politisi senior PDI Perjuangan TB Hasanuddin melalui sambungan telepon, Minggu (28/6/2020).
Anggota Komisi I DPR RI ini memandang dengan adanya rangkap jabatan kesempatan kerja masyarakat untuk menduduki satu posisi menjadi berkurang, lantaran satu orang ditempatkan di dua bahkan tiga jabatan. Seperti sudah tak ada manusia lagi.
"Ini sangat melecehkan profesionalisme. Apalagi kalau orang itu ditempatkan di perusahaan yang berbeda dengan berbagai jabatan," ungkapnya.
Menurut Hasanuddin, rangkap jabatan sudah pasti rangkap penghasilan. Hal ini, kata Hasanuddin, menimbulkan pemborosan anggaran apalagi orang yang rangkap jabatan ini tak fokus dalam bekerja.
Dikatakannya, rangkap jabatan juga berpotensi mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme.
"Misalnya saja seorang pejabat di Kementerian yang juga menjabat komisaris di beberapa BUMN. Nah ini berpotensi korupsi, kolusi dan nepitisme karena ada peluang," ujarnya.
Selain itu, Hasanuddin juga menyoroti adanya perwira tinggi TNI dan Polri aktif yang menduduki jabatan komisaris BUMN.
Ia menegaskan bahwa pengangkatan perwira TNI-Polri dalam jajaran BUMN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan khususnya UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri).
"Kementerian BUMN harus melakukan evaluasi kebijakan pengangkatan prajurit dan perwira aktif sebagai komisaris BUMN karena melanggar undang-undang," tandas purnawirawan TNI bintang dua ini.