Siapa Caleg 2024 untuk DPR-RI/ DPD-RI/ DPRD Prov. dan DPRD Kab./Kota-mu? Cek di sini...

Berita Anggota Parlemen

Dimotori PDIP, Ditolak Ulama, DPR, Tobatlah!

DPR hobi banget bikin RUU kontroversial. Setelah RUU KUHP yang bikin heboh September 2019, kali ini para wakil rakyat bikin RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). RUU itu pun kembali ditentang masyarakat. Duh, DPR tobatlah!

RUU HIP telah disahkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna yang digelar pada 12 Mei 2020. Yang pertama mengusulkan adalah PDIP. Kemudian, menjadi usul inisiatif Baleg DPR. Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU tersebut adalah Wakil Ketua Baleg DPR Rieke Diah Pitaloka dari Fraksi PDIP di DPR. Salah satu tujuan pembentukan undang-undang itu memperkuat landasan hukum pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), yang selama ini diatur Peraturan Presiden.

Rencana pembahasan RUU HIP dimulai dengan Rapat Dengar Pendapat Umum pada 11 Februari 2020. Rapat mendatangkan pakar ketatanegaraan Prof Jimly Asshiddiqie dan Prof FX Adjie Samekto. Sebanyak 37 anggota DPR hadir dalam rapat itu.

Rapat selanjutnya juga mendengarkan pandangan tim ahli pada 12 Februari. Kemudian pada 8 April dilakukan Rapat Panja Baleg RUU HIP. Rapat itu mulai membahas draf RUU dan mengusulkan tim ahli menyempurnakan draf. Rapat-rapat Panja pada 13 April dan 20 April kemudian dilakukan secara tertutup. Selanjutnya, rapat pengambilan keputusan penyusunan RUU HIP dilakukan pada 22 April. Terakhir, RUU HIP disahkan sebagai inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna 12 Mei 2020.

Fraksi mana saja yang setuju? Berdasarkan dokumen risalah rapat Baleg DPR dari situs resmi dpr.go.id, Rabu (22/4), 7 fraksi setuju RUU dibawa ke Rapat Paripurna. Yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN, dan PPP.

PKS setuju dengan beberapa catatan. Pertama, RUU HIP tidak boleh mempertentangkan prinsip ketuhanan dengan prinsip kebangsaan. Kedua, meminta RUU HIP mencantumkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI. Ketiga, meminta Pasal 6 yang mengatur Trisila dan Ekasila dicabut. Terakhir, penjelasan umum alinea 1 diminta hanya mengacu kepada Pancasila sebagaimana dimaksudkan di dalam Pembukaan UUD 1945.

Sementara, Demokrat tak ikut dalam pembahasan. Pertimbangannya, situasi dan kondisi masyarakat yang sedang kesulitan menghadapi wabah Covid-19.

RUU HIP ini kemudian menuai protes dari banyak kalangan. Sejumlah ormas Islam, seperti MUI, Muhammadiyah, dan NU menilai rancangan UU ini mereduksi atau mengerdilkan Pancasila. Sejumlah pihak lainnya menilai ada permasalahan dalam ketiadaan pencantuman larangan komunisme dan marxisme dalam RUU ini. Terdapat 60 pasal dari RUU HIP ini.

Sasaran utama kritik adalah Pasal 7. Ayat (2) pasal itu menjelaskan, ciri pokok Pancasila berupa Trisila. Ketiganya, yaitu “sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan”. Kemudian, "Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong," bunyi Pasal 7 Ayat (3).

MUI menilai, konsep trisila merupakan degradasi konsep ketuhanan yang harus tunduk kepada manusia. Sebab, konsep Ketuhanan Yang Maha Esa yang dicantumkan dalam RUU HIP adalah konsep ketuhanan yang berkebudayaan.

Sekjen MUI Anwar Abbas menyatakan, memeras Pancasila menjadi trisila dan ekasila adalah pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. "Konsep yang mereka usung dalam RUU ini sudah jelas sangat-sangat sekuler dan ateistik, menyimpang dari kesepakatan para founding fathers ketika mendirikan bangsa Indonesia," tegas Anwar.

Selain itu, yang menjadi polemik dalam RUU ini adalah tidak dimasukannya TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI. "Nah dengan tidak dicantumkan TAP MPRS yang di dalamnya ada tentang pembubaran PKI akan mengores kembali sejarah masa lalu yang ingin diperdebatkan," imbuhnya.

Muhammadiyah juga tak setuju. Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyebut, Pasal 7 dalam RUU HIP seperti mengulang kembali perdebatan lama yang sudah selesai dan bertentangan dengan UUD 1945. Padahal, rumusan Pancasila sebagai dasar negara sudah final dengan lima sila.

"Tugas kita seharusnya tidak lagi memunculkan perdebatan sesuatu yang sudah final. Tapi lebih ke bagaimana menjalankan dan membumikan Pancasila sehingga menjadi bagian dalam setiap diri rakyat Indonesia," tegasnya.

Eks Ketua BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) Yudi Latief juga mengkritik RUU HIP yang disebutnya ngawur. Menyebutkan keadilan sosial sebagai sendi pokok Pancasila, pemerasan Pancasila ke dalam trisila dan terutama ke dalam ekasila, menurutnya, menjadi problematik. “Itu bisa menimbulkan kesan bahwa Pancasila ditempatkan di jalur materialisme. Ini berbeda dengan jalur pernyataan Soekarno pada 1 Juni 1945,” ucap Yudi dalam tulisannya berjudul Titik Rawan RUU HIP, kemarin.

Setelah dikritik, akhirnya PDIP setuju menghapus Pasal 7 yang menimbulkan polemik. "Demikian halnya penambahan ketentuan menimbang guna menegaskan larangan terhadap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila seperti marxisme-komunisme, kapitalisme-liberalisme, radikalisme serta bentuk khilafahisme, juga setuju untuk ditambahkan," tutur Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

Terpisah, Guru Besar Politik Universitas Indonesia (UI) Prof Budyatna meminta DPR tak lagi menelurkan RUU kontroversial. Lebih baik DPR fokus melakukan tugas pengawasan terhadap kebijakan pemerintah dalam mengatasi wabah Covid-19 agar tidak terjadi penyimpangan. "Jangan diam-diam membahas RUU yang tidak mendesak, isinya kontroversial dan bermasalah, serta menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Tobatlah DPR, kasihan rakyat," imbaunya.

Diposting 16-06-2020.

Mereka dalam berita ini...

Jimly Asshiddiqie

Anggota DPD-RI 2019-2024
DKI Jakarta

Rieke Diah Pitaloka

Anggota DPR-RI 2019-2024
Jawa Barat 7