Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak pemerintah dan DPR untuk menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan (RUU PAS). Pasalnya, hal ini akan banyak menimbulkan berbagai persoalan serius, terutama terkait upaya pemberantasan korupsi.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, terdapat sejumlah pasal dalam RUU yang membahagiakan koruptor. Padahal, kejahatan korupsi merupakan extraordinary crime yang berimplikasi mewajibkan setiap negara menerapkan aturan-aturan yang khusus bagi pelaku kejahatan finansial ini.
“Melihat ketentuan yang tertuang dalam RUU PAS ini rasanya kejahatan korupsi hanya dipandang sebagai tindak kriminal biasa saja oleh DPR dan juga pemerintah,” kata Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Minggu (17/5).
Kurnia menyebut, Pemerintah bukan kali pertama ingin mempermudah akses narapidana korupsi untuk mendapatkan pengurangan hukuman. ICW mencatat, dalam rentang waktu 2015-2020 setidaknya delapan kali Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mewacanakan isu ini. Instrumen hukum yang kerap dimanfaatkan oleh Yasonna adalah Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 (PP 99/2012) tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan.
Alasannya pun cukup beragam, mulai dari kelebihan kapasitas Lapas hingga memanfaatkan situasi pandemi Covid-19. Namun dengan alasan penolakan dari masyarakat yang sangat meluas, akhirnya pemerintah kembali menunda pembahasan dan pengesahan revisi PP 99/2012.
Menurut Kurnia, keberadaan Lapas menjadi ujung dari proses penanganan sebuah perkara. Atas dasar itu, publik berharap agar Lapas dapat menjadi tempat para narapidana korupsi menjalani masa hukuman atas kejahatan yang telah dilakukan.
“Jika dalam Lapas saja para pelaku kejahatan korupsi dapat dengan mudah mendapatkan pengurangan hukuman maka sudah barang tentu pemberian efek jera tidak akan pernah maksimal,” sesal Kurnia.
Selain itu, ICW pun mengkritisi tidak adanya syarat khusus bagi narapidana korupsi mendapatkan remisi, cuti menjelang bebas maupun pembebasan bersyarat. Merujuk Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) praktis persyaratan narapidana kasus korupsi untuk kemudian mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat hanya berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan, telah menunjukkan penurunan tingkat risiko dan untuk bagian cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat mencantumkan ketentuan kewajiban telah menjalani dua per tiga dari masa pidana.
“Ini menandakan pola pikir pembentuk UU ingin menyamaratakan perlakuan narapidana korupsi dengan narapidana tindak pidana umum lainnya,” cetus Kurnia.
Bahkan RUU PAS, lanjut Kurnia, disebut juga mengabaikan putusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menegaskan PP 99/2012 menjadi cermin keadilan. Karena menunjukkan pembedaan antara kejahatan biasa dengan kejahatan yang menelan biaya tinggi secara sosial, ekonomi, dan politik serta tidak bertentangan dengan konstitusi serta tidak juga melanggar HAM.
“Sebab, remisi merupakan hak hukum bagi seorang narapidana korupsi dan jika ingin mendapatkannya wajib memenuhi persyaratan sebagaimana yang tetuang dalam PP 99/2012,” pungkasnya.