Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah lembaga yang mengedepankan politik kebangsaan bukan politik kekuasaan. Pernyataan itu ditegaskanoleh Anggota MPR Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay.
Menurut Saleh, pimpinan MPR yang berjumlah 10 orang merepresentasikan kebersamaan untuk membangun politik kebangsaan, bukan kekuasaan.
“Perbedaan antara politik kebangsaan dan politik kekuasaan terletak pada tujuannya, yakni untuk memperkuat kohesivitas sosial dan persatuan nasional,” ujar Saleh saat menjadi pembicara dalam diskusi Empat Pilar bertema, “Praktik Politik Kebangsaan” yang digelar Humas MPR di Media Center, Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen Jakarta, Jumat (25/10).
Politik kebangsaan, lanjut Saleh, selalu mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan nasional. Sifatnya jangka panjang dan menjangkau jauh ke depan.
Sebaliknya, politik kekuasaan mengutamakan kepentingan kelompok seperti kepentingan partai politik. Sifatnya jangka pendek untuk meraih kekuasaan. Partai politik memang untuk mencari kekuasaan seperti memperebutkan posisi menteri di kabinet.
“Pengambilan keputusan secara musyawarah dan mufakat juga contoh konkret politik kebangsaan di MPR,” ujarnya.
Lebih lanjut, Saleh juga menuturkan, contoh lain politik kebangsaan di MPR adalah Sidang Tahunan MPR dan Sosialisasi Empat Pilar MPR yang merupakan contoh politik kebangsaan. Karena tidak ada kepentingan politik praktis dalam sosialiasi empat pilar MPR.
Tidak jauh berbeda, anggota DPD dari Papua Barat Philip Wamahma sepakat bahwa MPR adalah wadah untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan politik secara nasional.
Namun, kata Philip, ada kelemahan dalam membangun politik kebangsaan yaitu pemegang kekuasaan tidak melaksanakan secara maksimal kewenangan yang diberikan.
“Jika negara ingin menerapkan politik kebangsaan maka perlu komitmen dan konsistensi para pemegang kekuasaan dalam menjalankan kewenangan dan setiap pengambilan keputusannya,” katanya.
Sementara itu, peneliti LIPI Siti Zuhro mengatakan, berbicara kebangsaan bukanlah tentang penguasa tetapi tentang pemimpin yang berpihak baik di level nasional maupun di level lokal. Keberpihakan itu terlihat ketika pemimpin mengambil keputusan.
“Ini adalah pertanyaan kebangsaan,” katanya.
Siti mengajak untuk mengevaluasi prilaku dan tutur kata elit politik. Sebab, ketika masyarakat membutuhkan role model atau teladan dari para elit, masyarakat tidak mendapatkan teladan itu.
“Kita evaluasi elite (politik) kita. Peran apa yang sedang dimainkan elite kita. Apakah para elite menjadi faktor pendorong bagi kemajuan kita berbangsa dan bernegara, atau justru menjadi faktor yang menghambat karena perilakunya,” katanya.
“Evaluasi ini juga, tidak hanya pada elit politik tetapi evaluasi terhadap infrastruktur partai politik, civil society, media dan suprastruktur politik,” tandasnya.