Siapa Caleg 2024 untuk DPR-RI/ DPD-RI/ DPRD Prov. dan DPRD Kab./Kota-mu? Cek di sini...

Berita Anggota Parlemen

PSI Persoalkan Pasal Penodaan Agama di RUU KUHP

sumber berita , 13-09-2019

Rancangan undang-undang Kitab Undang-undang hukum pidana (RUU KUHP) masih dalam tahap pembahasan di DPR. Pembahasan itu masih menyisakan sejumlah kontroversi di beberapa pasal. Salah satunya tentang pasal dugaan penodaan agama.

Masalah ini dikemukakan oleh Jubir DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Dini Purwono. Dia menyatakan bahwa PSI menolak RUU KUHP terkait ketentuan penodaan agama. Ketentuan itu termaktub dalam pasal 304. Adapun bunyinya sebagai berikut:

“Setiap orang di muka umum yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V.”

Menurut Dini Purwono, pada pasal tersebut tidak ada kejelasan penilaian tentang apakah suatu perbuatan bersifat permusuhan atau penodaan agama. “Apabila hanya didasarkan pada perasaan beragama orang per orang, jelas ini akan menimbulkan tafsir subyektif yang melukai azas keadilan publik atau umum,” ujar Dini kepada wartawan, Jumat (13/9).

Dia menambahkan, PSI menyarankan agar pasal itu memasukkan unsur yang lebih jelas untuk memidana seseorang yang memang dengan sengaja melakukan penghasutan untuk memusuhi agama lain (incitement to hatred). Unsur itu dianggap lebih jelas dan terukur.

“PSI tidak ingin ada seseorang yang dipenjara karena komentar yang menurut orang per orang telah menyinggung agama yang lain, dan berujung di jeruji besi karena desakan massa,” kata dia.

Dia menyatakan KUHP itu harus generalis. Harus menghormati prinsip kesamaan di depan hukum. KUHP juga harus memberikan hukuman bagi mereka yang sengaja menyebar kebencian bahkan menghasut untuk membenci keyakinan dan agama orang lain.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengaku masih ada sejumlah kontroversi di RUU KUHP. Menurut dia sangat wajar muncul banyak kritik soal pembahasan RUU KUHP. Sebab, itu bagian dari dinamika yang sudah berlangsung lama. “Kita tidak mungkin lepas dari kritik publik,” kata Fahri Hamzah di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (2/9).

Namun, KUHP versi Indonesia tetap sangat dibutuhkan untuk mengakhiri KUHP warisan kolonial Belanda. Pembaruan KUHP pun merupakan proses panjang sejak 1963. Artinya, kajian tersebut telah berlangsung selama 56 tahun. ”KUHP versi Indonesia ini kita dedikasikan sebagai kado HUT ke-74 kemerdekaan republik ini,” paparnya.

Jika dalam praktiknya publik tidak puas, imbuh dia, masyarakat bisa melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui mekanisme tersebut, publik dapat melakukan gugatan pasal per pasal.

Wakil Ketua Komisi III Desmond J. Mahesa menambahkan, target DPR untuk mengesahkan RUU KUHP sejalan dengan permintaan pemerintah. RUU KUHP sebaiknya disahkan di DPR periode sekarang. ”Semangat DPR dan pemerintah sudah sama dalam konteks menghapus produk hukum kolonial menjadi hukum nasional,” ucap Desmond.

Terkait sejumlah poin yang menjadi kontroversi, itu bagian dari koreksi DPR. Salah satunya terkait hukuman koruptor yang diturunkan menjadi minimal dua tahun penjara. Padahal dalam KUHP lama, hukuman untuk pelaku tindak pidana korupsi minimal empat tahun penjara.

Diposting 16-09-2019.

Mereka dalam berita ini...

Fahri Hamzah

Anggota DPR-RI 2014
Nusa Tenggara Barat

Desmond Junaidi Mahesa

Anggota DPR-RI 2019-2024
Banten 2