Siapa Caleg 2024 untuk DPR-RI/ DPD-RI/ DPRD Prov. dan DPRD Kab./Kota-mu? Cek di sini...

Berita Anggota Parlemen

DPR Desak Pemerintah Kuasai Bijih Nikel di Sulawesi

Setelah berhasil mendapatkan 51,2 persen saham Freeport PT. Freeport Indonesia, pemerintah didorong merubah Kontrak Karya (KK) Inco Vale Indonesia menjadi izin Usaha Pertambangan khusus (IUPK) untuk menguasai kembali bijih nikel di pegunungan Verbeek, Sulawesi.

 

Anggota Komisi VII Ahmad HM Ali mengemukakan, rezim Kontrak Karya merupakan kisah Panjang tentang kekalahan. Sebagai contoh, renegosiasi Kontrak Karya PT Inco generasi kedua mematok besaran pajak penghasilan terhitung sejak 1 April 2008 sebesar 30 persen yang notabene lebih rendah dibanding sebelumnya yang mencapai 45 persen. Senarai kekalahan ini bahkan dapat lebih panjang lagi jika ikut menghitung biaya sosial yang mesti ditanggung oleh masyarakat yang mendiami wilayah operasi, salah satunya ragam konflik sumber daya antara korporasi dengan masyarakat.

 

Politisi NasDem ini menceritakan, pada tahun 2007, Vale, maskapai tambang berbasis Brazil, berhasil mengakuisisi Inco yang pada tahun 1967 memenangkan konsesi bijih nikel di bawah rezim Kontrak Karya (KK) berdurasi puluhan tahun, dan luasan areal mencakup 6,6 juta hektar bagian timur dan tenggara Sulawesi. Buntutnya, dengan bekal penguasaan saham mayoritas sebesar 58,73 persen, di tahun 2011 PT Inco Tbk berubah nama menjadi PT Vale Indonesia Tbk. Perubahan nama dan struktur kepemilikan saham ini secara simultan berada pada momentum perubahan rezim dan renegosiasi Kontrak Karya sebagaimana amanah UU nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba. 

 

“PT Vale sebagai salah satu maskapai pertambangan asing mempertontonkan sikap tidak kooperatif. Terhitung hampir dua tahun sejak diundangkan, hingga Juni 2011 PT Vale belum bersedia untuk maju ke meja perundingan dengan pihak pemerintah Indonesia,” beber Ali dalam siaran persnya, Senin (20/8/2018).

 

Amandemen Kontrak Karya PT Vale memang akhirnya berhasil ditandatangani bersama pada oktober 2014. Sayangnya, amandemen Kontrak Karya tersebut pun dipandang Ali masih menyisakan sejumlah penanda kekalahan. Kekalahan utama justru tepat berada dijantung persoalan, yakni divestasi. 

 

PT Vale seharusnya menyepakati kewajiban mendivestasikan saham PT Vale sebesar 20 persen kepada peserta Indonesia (pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD dan pihak swasta dan individu Indonesia) sebagai tindak lanjut dari divestasi saham sebesar 40 persen kepada pihak Indonesia. Namun alih -alih dikuasai oleh pihak Indonesia, dari 20,49 persen saham publik, sebagian besarnya justru dimiliki oleh pihak swasta asing yang berkedudukan di luar negeri, diantaranya Citybank New York, JP Morgan Chase Bank, BP2S Luxembourg, BBH Boston, Platinum International Fund, dan BPN Paribas. 

 

“Padahal dalam UU minerba yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 24 tahun 2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba secara eksplisit mewajibkan divestasi kepada peserta Indonesia sebesar 51 persen pada tahun  kesepuluh sejak produksi,” ungkapnya.

 

Ali menekankan, jika acuannya perpanjangan KK, maka 51 persen saham kepada peserta Indonesia sudah harus terealisasi tahun 2006, mengingat KK telah diperpanjang sejak tahun 1996. Namun jika merujuk pada permulaan pemberlakuan ketentuan dalam KK perpanjangan sejak 2008, maka realisasi divestasi 51 persen saham kepada peserta Indonesia adalah tahun 2018. Ali menekankan, apapun basis waktu rujukannya, pemerintah saat ini haris menguasai mayoritas saham milik PT Vale.

 

Ia mengingatkan, dalam isu divestasi saham PT Vale, teridentifikasi setidaknya dua poin pokok kekalahan. Pertama, divestasi saham baru mencapai 20 persen, itu pun minim kepemilikan peserta Indonesia. kedua, pelaksanaan divestasi telah melewati batas waktu minimal sepuluh tahun dari waktu perpanjangan Kontrak Karya.

 

“Fitur kekalahan lain bersangkut paut dengan royalti dan pajak yang sangat terkait dengan isu tata kelola korporasi yang baik (good corporate governance). Selama ini, publik menuntut pemerintah untuk menyelenggarakan tata kelola pemerintahan yang baik, namun acap kali abai menuntut hal yang sama pada pihak korporasi besar pertambangan,” ucap Ali.

 

Dalam kesempatan yang sama Ali membeberkan adanya aksi manipulasi pada level produksi sehingga negara dirugikan dalam bentuk resiko penerimaan royalti dan pajak. Dikatakan Ali, dalam kesepakatan amandemen Kontrak Karya, disepakati kenaikan royalti dari 0,9 persen menjadi 2 persen dan dapat menjadi 3 persen ketika harga nikel naik. Menurut Ali terdapat perbedaan laporan Vale Indonesia dan Vale SA sebagai entitas pengendali utama. Dalam laporan PT Vale Indonesia tahun 2013, biaya royalti dan lisensi hanya 0,8 persen dari total biaya penjualan. Sementara Vale SA menyebutkan pembayaran royalti berbasis volume penjualan pada tahun yang sama sebesar 0,68 persen dari hasil penjualan nikel matte. Bahkan dari tahun 2010-2013, rerata pembayaran royalti sebesar 0,63 persen.

 

“Yang juga tak kalah janggal, perbandingan antara volume pengiriman dengan jumlah produksi. Selama ini, volume pengiriman PT Vale kepada Vale Canada dan Sumitomo selalu lebih tinggi dibandingkan produksinya, dengan dalih mengimbangi penurunan harga jual,” ujar Ali.

 

“Gejala yang sudah berlangsung cukup lama ini setidaknya terhitung sejak 2009 mengindikasikan ketidakjujuran dan aksi manipulasi pada level produksi. Seluruh produksi dijual kepada entitas induk Vale dan Sumitomo. Akibatnya, negara dirugikan dalam bentuk resiko penerimaan royalti dan pajak,” sambungnya.

 

Ali melanjutkan, sektor pertambangan Minerba sebagai sektor berciri padat modal, acap kali menjadi dalih bagi maskapai pertambangan untuk meminta kelonggaran dalam bentuk relaksasi ekspor bahan konsentrat. Dalam frame penyesuaian, hal tersebut boleh jadi masih dalam batas kewajaran. Tetapi dalam jangka panjang, kebijakan tersebut justru kontraproduktif dengan semangat dan kepentingan nasional untuk meningkatkan nilai tambah komoditas mineral.

 

Implikasi dari kebijakan relaksasi dalam penyelenggaraan pertambangan mineral bagi PT. Vale Indonesia disampaikan Ali adalah melemahnya insentif untuk mempercepat pembangunan smelter, khususnya di Bahodopi, Sulawesi Tengah dan Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Tercatat hingga tahun 2018 ini, pembangunan smelter baru di dua lokasi tersebut bahkan belum lagi sampai pada tahapan pra-studi kelayakan; masih jauh panggang dari api.

 

Ia memandang sejumlah fasilitas dan kelonggaran demi kelonggaran sudah terlalu banyak diberikan kepada pihak PT. Vale. Dengan berlindung dibalik kesepakatan amandemen Kontrak Karya, PT. Vale menjadi punya dalih untuk enggan mengubah Kontrak Karya menjadi izin Usaha Pertambangan khusus (IUPK).

 

“Setidaknya ada dua kepentingan strategis dibalik perubahan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan. Pertama, penguasaan kembali sektor minerba oleh pelaku nasional, dalam bentuk divestasi. Kedua, meningkatkan daya saing dan nilai tambah sektor minerba nasional, dalam bentuk hilirisasi. Setelah Freeport, PT. Vale patut menjadi agenda selanjutnya,” desaknya.

 

“Ada tiga langkah yang saling bertaut dan urgen untuk segera ditempuh. Pertama, mempercepat perubahan status Kontrak Karya PT. Vale menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Kedua, lewat perubahan tersebut, mempercepat langkah divestasi saham dengan target pemilikan mayoritas oleh peserta nasional. Ketiga, melalui pemilikan saham mayoritas sebagai pintu masuk, penyelenggaraan tata kelola korporasi dan pertambangan yang baik (good corporate governance and good mining practice),” papar Ahmad Ali.

Diposting 21-08-2018.

Dia dalam berita ini...

Ahmad H. M. Ali

Anggota DPR-RI 2014
Sulawesi Tengah