Siapa Caleg 2024 untuk DPR-RI/ DPD-RI/ DPRD Prov. dan DPRD Kab./Kota-mu? Cek di sini...

Berita Anggota Parlemen

Khilafah Pancasilais

sumber berita , 12-02-2018

Sejak Presiden Jokowi mempopulerkan slogan Kami Indonesia dan Kami Pancasila yang dilanjutkannya dengan penerbitan Perppu Nomor 2 serta pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia ada coba membenturkan Pancasila dengan Khilafah. Bahkan partai-partai yang dianggap dekat dengan umat Islam sudah difitnah bercita-cita mendirikan Khilafah sebagimana dikatakan politisi senior Nasdem Viktor Laiskodat.

Penolakan doktrin dan gerakan Hizbut Tahrir oleh Pemerintah akibat menyebut diri sebagai gerakan partai politik internasional dijadikan alasan oleh kelompok tertentu menentang konsep Khilafah. Ajaran Islam ini telah menjadi sasaran fitnah yang dicitrakan sebagai idiologi impor yang bertentangan dengan Pancasila. Tentu faham ini adalah sesat fikir yang tidak bisa diterima akal waras dan metode keilmuan Islami.

Sebagaimana disebutkan oleh cendekiawan asal Iraq Prof. Ali Allawi dalam bukunya The Crisis of Islamic Civilization, bahwa keberadaan kekhalifahan telah menjadi bagian integral dalam peradaban Islam. Menurutnya identifikasi dengan kekhilafahan ini tampaknya belum sepenuhnya menghilang dari kesadaran muslim, walaupun khalifah terakhir meninggal hampir 80 tahun lalu.

Seruan untuk mendirikan Khilafah sangat terkait dengan prinsip bahwa tugas paling utama dari penguasa dalam Islam ialah sebagai penjaga utama syariah Islam.

Sebagai sebuah konsep Islam, tentu terdapat perbedaan para Ulama dalam menafsirkan makna Khilafah  sebagaimana yang terjadi pada ajaran Islam lainnya secara furi'iyah. Demikian pula dengan penafsiran Ulama di Indonesia yang memiliki berbagai pemahaman tentang Khilafah, yang menentang secara frontal atau masih dapat menerima dengan beberapa catatan. Namun sebagai sebuah sistem pemerintahan dalam Islam, sistem Khilafah tidak semestinya ditolak, namun bisa ditafsirkan kembali pemahamannya sesuai dengan kontek kekinian sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Maududi di Pakistan yang merekonstruksi pemahaman khilafah sesuai kontek kekinian negara bangsa. 

Khilafah tentu berbeda dengan Khilafahisme sebagai gerakan politik Islamis yang menjadikan Khilafah menurut pemahamannya sebagai modus perjuangan dalam menegakkan syariat Islam. Bahkan ada sebagian yang menuduh kaum Islamisme, sebagaimana dikatakan Bassam Tibi dalam Islamism and Islam, telah menjadikan Khilafah sebagai komuditas efektif untuk mengembangkan gerakan ataupun penarik simpati masyarakat Muslim. Pemahaman seperti inilah yang biasanya disematkan kepada Hizbut Tahrir, Al-Qaeda, ISIS, Ahmadiyah Qadiyani, Arqam Malaysia dan lainnya. Sehingga ajaran Khilafah menjadi kontraversial dan dijadikan sebagai musuh bersama, bahkan telah dijadikan alasan untuk memerangi terorisme global yang dikomandoi Amerika. 

Khilafah Pancasilais    

Menurut penelitian terkini ahli sejarah, saudagar Nusantara bersama keturunan Nabi Muhammad pasca tragedi Karbala telah mendirikan Kerajaan Islam pertama di ujung barat pulau Sumatera, sebagaimana disebutkan Hamka, Arnold, Van Leur, al-Attas yang dikenal dengan Kerajaan Jeumpa (Aceh) pada tahun 120an H atau 670an Masehi. Kerajaan ini kemudian berkembang menjadi beberapa Kerajaan Islam di Perlak, Indra Puri, Fansur, Pasai, Barus dan lainnya dengan memakai nama Kesultanan. 

Di tanah Jawa pasca runtuhnya Majapahit telah diproklamirkannya Kesultanan Demak dengan beberapa kerajaan (daulah) konfederasi yang mengganggotainya dari Fak-Fak, Maluku, Bugis, Makassar sampai di Palembang dan Aceh Darussalam. Para pakar sejarah Islam menyebutkan bahwa secara maqasid al-Syariat, Kesultanan Islam Nusantara pasca runtuhnya Khilafah Baghdad tahun 1258 M sebagai salah satu pusat Khilafah Islamiyah di Timur atau Negeri Bawah Angin (Bilad Tahta Jawwa). 

Kesultanan Islam terus berkembang di Nusantara dan membangun poros dengan Khilafah Islamiyah di Turki ataupun pusat spiritual Islam di Mekkah dan Madinah. Kerajaan Aceh Darussalam secara rutin memberi bantuan tidak kurang 200 kg emas murni kepada Syarif Mekkah untuk membantu penyelenggaraan haji. Dan sampai sekarang Pemerintah Saudi Arabia masih mengakui wakaf dari tokoh-tokoh Kerajaan Aceh Darussalam berupa tanah, hotel dan apartemen, seperti Waqaf Habib Bugak al-Asyi yang masyhur itu.

Kesultanan adalah bentuk ijtihad lokal Ulama Nusantara yang secara mafhumnya mendekati makna sebagai Khilafah Islamiyah atau sistem pemerintahan berdasarkan Islam secara hakikat atau fiqhnya. Kesultanan adalah konfederasi dari beberapa Kerajaan (daulah) yang sudah ada. Jadi jelaslah, sistem Khilafah sudah ditegakkan ribuan tahun oleh Ulama Nusantara, jauh sebelum dilaungkan Hizbut Tahrir ataupun al-Qaeda dan ISIS pasca reformasi Indonesia. 

Para era penjajahan Belanda, para Sultan dan Kesultanan adalah yang terdepan dalam melindungi masyarakat dan memerangi kezaliman. Kesultanan menjadi pemelihara dan pengayom sekaligus pemersatu bangsa. Itulah sebabnya Pahlawan Nasional dipenuhi nama-nama agung Sultan Nusantara, seperti Sultan Iskandar Muda (Aceh), Sultan Hasanuddin (Makassar), Pangeran Diponegoro (Jawa), Sultan Hamid Al-Ghadri (Pontianak) dan lainnya. Akhirnya ketika bangsa Indonesia menyepakati pembentukan Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan Soekarno-Hatta, dengan sukarela para Sultan dan bangsawannya menyerahkan kedaulatan, wilayah dan rakyatnya serta kekayaannya untuk melebur dibawah Indonesia Raya. 

Itulah sebabnya para Ulama Nusantara ada yang berpendapat Negara Indonesia Raya adalah bentuk penyatuan dari beberapa Kesultanan dan Kerajaan, yang jika dipakai dalam nomenklatur pemerintahan Islam, dapat disebut sebagai Khilafah. Jika dibandingkan dengan Khilafah Abbasiah atau Khilafah Usmaniyah Turki, maka Khilafah Indonesia Raya jauh lebih luas wilayahnya serta jauh lebih banyak daulahnya (kerajaan lokal) serta terdiri dari 500 lebih suku-bangsa. Tokoh GAM Dr. Hasan Di Tiro dalam sebuah ceramahnya pernah menyebut Indonesia sebagai Benua Muslim, bukan hanya negara muslim jika dibandingkan dengan Benua Eropa misalnya.  

Realitas Indonesia Raya sebagai sebuah Khilafah juga dapat ditelusuri dari sejarah pembentukan dasar Negara Indonesia merdeka yaitu Pancasila. Perdebatan sengit dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dapat menjelaskan dengan terang bagaimana proses integrasi sistem pemerintahan Islam dalam Negara Indonesia sebagaimana diijtihadkan dan diperjuangkan secara maksimal oleh pemimpin kaum muslimin. Terjadilah adu argumentasi yang menegangkan, terutama dari pihak Islam dengan pihak Nasionalis yang hendak menjadikan Idiologinya masing-masing sebagai dasar negara. 

Setelah bersidang beberapa lama, panitia sembilan berhasil merumuskan dasar negara sementara Indonesia pada tanggal 22 Juni 1945. BPUPKI mengesahkannya dengan nama Piagam Jakarta yang mencantumkan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syariatnya. Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kemerdekaan Indonesia, Piagam Jakarta diganti dengan dihapuskannya kewajiban menjalankan syariat Islam. Dengan kesabaran tinggi kaum muslimin yang mayoritas memberikan toleransi demi menjaga keutuhan kemerdekaan bangsa Indonesia yang baru berumur sehari. Kesabaran dan toleransi inilah disebut sebagai hadiah terbesar umat Islam kepada bangsa Indonesia.

Sekali lagi umat Islam bangsa Indonesia menerima dengan lapang dada keputusan Presiden Soekarno yang mendekritkan kembali kepada UUD 45 dengan semangat Piagam Jakarta. Para ulama tradisional dari NU memberikan kedudukan kepada Soekarno sebagai Waliyul Amri yang juga bisa berarti sebagai amirul mukminin, panggilan dan gelar yang biasanya disematkan kepada Khalifah. Artinya secara maqashid al-syari’at para Ulama telah bersepakat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam fiqh klasik dapat diartikan sebagai Khilafah al-Muslimun. Hal ini sebagai bentuk ijtihad lokal para ulama Indonesia kontemporer, mengikuti Ijtihad Walisongo ketika mengangkat Raden Fatah sebagai Sultan yang bergelar Khalifatullah Sayyidin Panatagama. 

Mereka yang menginginkan Indonesia Raya sebagai Khilafah pada hakikatnya tujuan mereka secara maqashid al-syariah sudah tercapai dan sudah mulai ditegakkan pilarnya sejak berdirinya Kesultanan Islam lebih dari seribu tahun yang lalu. Masalah penyempurnaan sistem pemerintahan dari waktu ke waktu dengan bentuknya yang sempurna sebagai Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang Adil Makmur Sejahtera ataupun Negara Kertagama Adil Makmur lan Gemah Ripah Loh Jinawi yang bahasa Arabnya Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur memang terus diperjuangkan. 

Menyebut NKRI sebagai daulah harbiyah atau Negara thaghut adalah sesat fikir, bahkan dapat dikatakan sebagai penistaan terhadap ijtihad Ulama bangsa Indonesia. Qaidah fiqh menyebut dengan tegas: al-ijtihad laa yunqazu bil ijtihad (sebuah ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad lainnya). Jadi setiap Muslim wajib menghormati ijtihad dari jumhur Ulama yang menyebut NKRI adalah salah satu bentuk sistem pemerintahan Islami. Dr. Muhammad Natsir adalah tokoh Islam yang mengajukan mosi integral agar Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik menggantikan Republik Indonesia Serikat berbentuk federasi.

Jika ada sekelompok masyarakat yang bercita-cita menegakkan Khilafah di Indonesia, tentu mereka tidak bisa disebut anti Pancasila. Karena Khilafah adalah bagian dari syari’at Islam yang dijamin penegakannya oleh Dekrit Presiden yang menyebutkan UUD 45 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta. Menolak Khilafah sama artinya dengan menolak perjalanan sejarah panjang bangsa Indonesia, karena Khilafah sudah menjadi bagian dari sejarah dan peradaban bangsa Indonesia sejak ribuan tahun lalu. 

Menegakkan khilafah yang sesuai dengan tradisi dan sejarah bangsa Indonesia adalah hakikatnya menjalankan ajaran Pancasila itu sendiri. Justru mereka yang menuduh para penegak khilafah sebagai anti Pancasila adalah kelompok yang sesat fikir yang pada hakikatnya tidak memahami sejarah bangsa Indonesia. Bahkan merekalah yang patut dicurigai sebagai anti Pancasila yang bersumber dari peradaban luhur bangsa Indonesia. Wallahu a'lam.

Hilmy Almascaty

(ketua Dewan Pakar  DPP Hizbul Islami Islam)

Diposting 13-02-2018.

Dia dalam berita ini...

Viktor Bungtilu Laiskodat

Anggota DPR-RI 2014
Nusa Tenggara Timur II