Siapa Caleg 2024 untuk DPR-RI/ DPD-RI/ DPRD Prov. dan DPRD Kab./Kota-mu? Cek di sini...

Berita Anggota Parlemen

Mirwan Amir Bantah Surati Pemred Metro TV dan Media Indonesia

sumber berita , 07-02-2018

PRESIDEN ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) murka karena namanya disebut dalam persidangan kasus korupsi kartu tanda penduduk berbasis elektronik (KTP-e) dengan tersangka Setya Novanto. Sidang berlangsung di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 25 Januari 2018.

Nama SBY muncul berawal dari pertanyaan kuasa hukum Novanto, Firman Wijaya, terhadap eks anggota DPR dari Partai Demokrat Mirwan Amir. Firman menanyakan kaitan pengadaan KTP-e dengan Partai Demokrat. Firman menanyakan itu karena sampai saat ini hanya Novanto yang dipersoalkan.

Mirwan saat itu hadir sebagai saksi. Mirwan mengatakan, persoalan tidak lengkapnya spesifikasi teknis pengadaan KTP-e telah ia sampaikan dalam pertemuan di kediaman SBY.

"Itu saya sampaikan langsung kepada SBY di Cikeas. Tanggapannya ketika itu, dia menyampaikan bahwa proyek ini harus diteruskan untuk menuju pilkada," kata Mirwan saat itu.

SBY menilai, percakapan Mirwan dan Firman itu keluar dari konteks, bahkan penuh nuansa dan rekayasa. Firman, kata SBY, juga mengeluarkan pernyataan di luar sidang yang penuh bias.

"Seperti diarahkan dan secara tidak langsung namun jelas, menuduh saya sebagai orang besar, penguasa yang melakukan intervensi terhadap KTP-el," kata SBY saat melaporkan Firman Wijaya ke Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (6/2) kemarin.

Beberapa hari setelah persidangan, muncul surat klarifikasi melalui media sosial yang ditujukan kepada Pemimpin Redaksi Metro TV dan Media Indonesia. Surat atas nama Mirwan Amir itu menjelaskan soal keterangannya di persidangan kala bersaksi untuk Novanto.

Intinya, tulisan itu menjelaskan Mirwan Amir dipaksa oleh Firman Wijaya dan Saan Mustofa, eks politikus Demokrat yang kini menjadi Ketua DPD NasDem Jawa Barat, untuk merekayasa kesaksian dalam persidangan. Tujuannya tak lain agar pengajuan justice collaborator Novanto diterima oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Skenario itu digambarkan terjadi saat mereka menjenguk eks Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum di Lapas Sukamiskin, Jawa Barat, sebelum Mirwan bersaksi untuk Novanto.

Mirwan Amir membantah tulisan tersebut dari dirinya. "Perlu saya tegaskan bahwa saya tidak pernah menulis surat tersebut. Surat tersebut adalah hoax," kata Mirwan saat dikonfirmasi Medcom.id melalui aplikasi pesan WhatsApp, Rabu (7/2).

Selain berisi fitnah, Mirwan menegaskan bahwa kesaksiannya di persidangan Novanto tidak direkayasa. Dia juga tidak berniat menyudutkan pihak tertentu, apalagi mantan Presiden ke-6 RI sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Tidak ada maksud untuk memojokkan pihak-pihak tertentu, termasuk SBY. Juga tidak ada nada tuduhan kepada SBY," tegas Mirwan.

Mirwan yang kini aktif di Partai Hanura meminta penyebar berita bohong (hoaks) tersebut menyadari perbuatannya.

"Fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Mari kita dukung gerakan antihoaks," kata dia.

Mirwan Amir enggan untuk dikontak via telepon karena sedang rapat di Singapura.

"Saya lagi rapat. Rapatnya di Singapura," kata Mirwan.

Hal senada disampaikan Saan Mustofa. Saan membantah bertemu dengan Firman Wijaya dan Mirwan Amir saat menjenguk Anas Urbaningrum di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.

"Itu sudah pasti hoaksnya dan fitnah," kata Saan.

Mantan anggota DPR dua periode itu mengaku sudah hampir tiga tahun tidak berkomunikasi dengan Mirwan Amir.

"Sudah lebih tiga tahun saya enggak kontak sama dia (Mirwan)," kata Saan. (OL-2)

Berikut isi surat yang mengatasnamakan Mirwan Amir yang kemudian menjadi viral:

Kepada Yth.
Pimpinan Redaksi Metro TV dan Media Indonesia

Pertama-tama saya mohon maaf, tidak bisa memenuhi permintaan wawancara apalagi hadir di studio dengan tema wawancara soal keterlibatan SBY dan E-KTP.

Kondisi saat ini tidak memungkinkan, keluarga saya alami stres berat bahkan terpaksa setahun terakhir saya ungsikan ke Australia.

Namun saya akan klarifikasi saja apa yang sebenernya terjadi dalam persidangan 25 Januari 2018 lalu.

Menurut saya, saat ini terjadi kesimpangsiuran berita persidangan kasus E-KTP antara keterangan saya di ruang pengadilan dan keterangan Firman Wijaya di luar sidang pengadilan 25 Januari lalu. Berikut klarifikasi saya:

Saat ditanya Saudara Firman Wijaya tentang apakah saya tahu tentang projek E-KTP, saya menjawab tidak tahu. Karena saya memang tidak tahu seperti yang saya kemukakan pada sidang sebelumnya sebagai saksi Irman dan Andi Narogong.

Lalu saya kembali dicecar oleh Saudara Firman Wijaya terus seperti memaksa saya agar mengetahui kasus itu, padahal saya tidak tahu menahu.

Hal itu juga yang saya kemukakan saat saya, Saan Mustofa dan Firman Wijaya menengok Anas Urbaningrum seminggu sebelum sidang itu, di Sukamiskin.

Namun atas desakan Firman Wijaya dan Saan Mustofa dengan alasan untuk menyelamatkan Anas Urbaningrum dari tuduhan KPK serta agar Pak Setya Novanto bisa mendapatkan justice collaborator (JC) dari KPK sehingga tidak dihukum maksimal, maka saya dipaksa mengarang cerita seolah-olah ada kekuatan besar selain Setya Novanto.

Awalnya saya menolak, tapi karena terus didesak, akhirnya terpaksa saya ikuti kemauan mereka dengan diiming-imingi janji.

Akhirnya, di persidangan 25 Januari itu, atas pertanyaan kedua yang memaksa dari Firman Wijaya, saya terpaksa menjawab saya tahu masalah E-KTP itu memiliki problem atas informasi Yusnan Solihin, agen penyedia produk Automated Fingerprint Identification System (AFIS).

Kalimatnya kurang lebih begini yang saya karang: "Saya mendengar dari Pak Yusnan, program E-KTP ini ada masalah. Maka itu, Pak Yusnan menulis surat kepada pemerintah tim (pemenangan) 2009. Saya katakan kalau tidak baik, lebih baik tidak dilanjutkan. Informasi itu kemudian saya teruskan kepada SBY di kediaman pribadinya di Cikeas, Bogor. SBY memilih tetap melanjutkan proyek demi kepentingan pilkada".

Atas keterangan saya itu saya dijamin oleh Firman Wijaya tidak akan dilibatkan apapun oleh Setya Novanto dalam keterangannya nanti sebagai JC.

Firman, Anas dan Saan Mustofa bahkan memaksa saya menyebut nama Ibas terlibat, saya tolak. Karena memang saya tidak pernah tahu. Untuk hal ini penolakan saya diterima oleh mereka.

Tapi sekarang, saya merasa dikhianati, karena ternyata saya mendapat permintaan tertulis dari pengacara Setya Novanto atas pengajuan JC Setya Novanto ke KPK melibatkan nama saya sebagai penerima uang korupsi E-KTP di luar enam nama lainnya yaitu, Ganjar Pranowo, Olly Dondokambey, Yasonna Laoly, Chairuman Harahap, Tamsil Linrung, dan Arif Wibowo. Saya benar-benar dikhianati oleh Firman Wijaya, Saan Mustofa dan Anas Urbaningrum.

Terus terang dalam kasus ini saya tidak terlibat dan tidak tahu menahu, silahkan buktikan saja oleh pengadilan dan Setya Novanto aliran duitnya.

Kalaupun saat ini berdedar keterangan Firman Wijaya di luar persidangan yang menyatakan SBY adalah aktor atau nama besar di balik korupsi E-KTP, itu sama sekali bukan keterangan saya. Saya tidak pernah menyebutnya. Silahkan dicek di sejumlah media yang menyaksikan persidangan hari itu. Sekali lagi itu kesimpulan pribadi dari Saudara Firman Wijaya yang tanggung jawabnya bukan pada saya. Saya tidak pernah menyebut SBY aktor di balik korupsi E-KTP.

Demikian keterangan saya, dibuat dengan sebenar-benarnya. Demi Allah inilah yang terjadi sebenernya.

Klarifikasi saya ini meski untuk Metro TV dan Media Indonesia, namun saya izinkan dikutip oleh siapa pun.

Senin, 5 Februari 2018

Mirwan Amir.

Diposting 08-02-2018.

Mereka dalam berita ini...

Setya Novanto

Anggota DPR-RI 2014
Nusa Tenggara Timur II

Saan Mustopa

Anggota DPR-RI 2014
Jawa Barat VII

Tamsil Linrung

Anggota DPR-RI 2014
Sulawesi Selatan I

Arif Wibowo

Anggota DPR-RI 2014
Jawa Timur IV

Olly Dondokambey

Anggota DPR-RI 2014
Sulawesi Utara