Siapa Caleg 2024 untuk DPR-RI/ DPD-RI/ DPRD Prov. dan DPRD Kab./Kota-mu? Cek di sini...

Berita Anggota Parlemen

Bagaimana Undang-Undang Mengatur Pembubaran DPR?

sumber berita , 10-12-2014

Oleh: Ranto Sibarani, SH. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang diselenggarakan pada tanggal 9 Juli 2014 praktis telah menjadikan fragmentasi politik bukan hanya di level rakyat, namun juga terjadi pada level legislatif atau anggota dewan, dan disinyalir akan menular pada level eksekutif atau pemerintahan. Hebatnya dinamika politik pra dan paska Pilpres telah membuat dua kelompok besar yang berbeda watak dan munculnya politik dominasi antara elit politik yang pernah berseteru pada Pilpres tersebut.

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana serangan-serangan dan tuduhan-tuduhan yang digunakan untuk menjatuhkan pihak lawan menggunakan isu-isu yang selama ini justru dipelihara dan dibiarkan tumbuh berkembang ditengah-tengah masyarakat tanpa adanya kepastian hukum dan tanggungjawab negara. Misalnya tuduhan yang bersifat rasis, tuduhan PKI, tuduhan minoritas, tuduhan pelanggar HAM dan banyak tuduhan-tuduhan lain. Semua tuduhan tersebut sebenarnya adalah persoalan dan dosa politik yang selama ini telah diabaikan, tidak diusut dan terkesan dipelihara oleh negara. Aktor yang melakukan dosa-dosa politik tersebut bisa saja sudah tiada atau bahkan bisa saja saat ini sedang berada pada inti kekuasaan.

Situasi Politik Nasional

Dinamika politik menjelang dan setelah Pilpres 2014 telah membuat kita dengan mudah menduga kecenderungan prilaku politik kedua kubu yang selama ini berseteru untuk memenangkan pasangan Joko Widodo atau Prabowo. Kemenangan Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang diumumkan oleh KPU menjadikan lembaga KPU tertuduh melakukan kecurangan, hal ini kemudian diikuti dengan gugatan-gugatan di Mahkamah Konstitusi bahkan sampai ke PTUN. Namun semua gugatan itu tidak mendapatkan hasil, Presiden terpilih Jokowi akhirnya dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014 yang lalu.

Perselisihan dua kubu politik saat Pilpres ternyata tidak berhenti paska keputusan MK yang menggagalkan gugatan Prabowo dan kawan-kawan pada tanggal 21 Agustus 2014. Kubu Koalisi Merah Putih (KMP) pendukung Prabowo dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pendukung Jokowi tetap berseteru dalam memenangkan kepemimpinan di DPR dan MPR, mudah di duga, KMP yang jumlahnya lebih besar yaitu 353 atau 63% jika digabungkan dengan Fraksi Partai Demokrat. Sementara itu kekuatan KIH adalah 207 kursi atau 37% dari sebanyak 560 anggota DPR RI. Dapat dipastikan KMP akan selalu memenangkan perseteruan dalam voting di MPR. Sebagaimana kita ketahui, MPR adalah lembaga legislatif Bikameral yang terdiri dari DPR dan DPD, jumlah anggota DPR 560 orang, sementara jumlah anggota DPD sebanyak 132 orang sehingga total jumlah MPR adalah 692 orang.

Kemenangan demi kemenangan diraih oleh KMP di DPR, tidak tanggung-tanggung 5 kemenangan telah diraih oleh KMP paska Pilpres, diantaranya adalah pertama pada saat pengesahan UU MD3 yang menyebutkan pemilihan pemimpin parlemen tidak didasarkan pada pemenang Pileg, melainkan berdasarkan paket. Kedua Pengesahan Tatib. Ketiga UU Pilkada melalui DPRD, yang mengatur bahwa pemilihan Kepala Daerah tidak lagi melalui pemilihan langsung melainkan melalui DPRD. Keempat pemilihan pemimpin DPR yang diketuai oleh Setya Novanto dan empat wakil ketua yaitu Fahri Hamzah (PKS), Fadli Zon (Gerindra), Agus Hermanto (Demokrat), Taufik Kurniawan (PAN) dan yang kelima adalah penentuan pemimpin MPR dalam lima tahun ke depan, semua diborong oleh KMP.

Dominasi KMP di lembaga legislatif tertinggi tersebut akhirnya membuat KIH gerah dan melakukan manuver politik, tidak tanggung-tanggung pada tanggal 29 Oktober 2014 KIH membentuk Pimpinan DPR Tandingan yang diketuai oleh Pramono Anung (PDIP) dan empat wakil ketua yaitu Abdul Kadir, Saifullah Tamliha (PPP), Patrice Rio Capella (Nasdem) dan Dossy Iskandar (Hanura). Kegaduhan di lembaga DPR ini kemudian membuktikan kepada kita bahwa anggota DPR RI lebih mementingkan perebutan kekuasaan di Lembaga Legislatif tertinggi tersebut ketimbang membicarakan dan beradu argumen untuk memenuhi kepentingan rakyat banyak.

Wacana Membubarkan DPR

Kegaduhan di lembaga DPR tersebut pada akhirnya mempertontonkan prilaku sesungguhnya anggota legislatif. Rakyat dengan mudah melihat bagaimana watak asli wakilnya di parlemen mulai dari berebut bicara, ribut berteriak-teriak tidak teratur, membalikkan meja sampai pada praktek yang hampir adu jotos adalah tontonan yang biasa di televisi akhir-akhir ini. Semua tontonan tersebut kemudian memunculkan wacana agar Presiden membubarkan DPR karena lembaga tersebut sudah dianggap tidak lagi mewakili kepentingan rakyat, namun cenderung digunakan untuk merebut kekuasaan.

Bagaimana tidak, pada saat anggota DPR sibuk bergaduh ria berebut kekuasaan, Presiden terpilih, Jokowi malah membuat terobosan yang menakjubkan. Jokowi menetapkan struktur kabinetnya pada tanggal 26 Oktober 2014, terobosannya adalah mulai dari memiliki jumlah menteri Perempuan yang banyak yaitu 8 orang, memilih menteri yang pendidikannya hanya sampai SMP, dan yang tidak kalah hebatnya, Jokowi langsung melakukan blusukannya yang pertama paska dilantik menjadi Presiden yaitu mengunjungi Korban Erupsi Sinabung di Tanah Karo, Sumatera Utara pada tanggal 29 Oktober 2014, ribuan rakyat dengan antusias menyambut kedatangan Jokowi pada saat itu.

Kontrasnya dua kondisi tersebut, kegaduhan DPR dan keberpihakan Jokowi pada rakyat menjadi alasan yang kuat untuk munculnya wacana agar Presiden membubarkan DPR. Namun bagaimanakah landasan hukum pembubaran DPR oleh Presiden tersebut? Dalam sistem Presidensil, Presiden tidak punya kewenangan untuk membubarkan Parlemen, begitu pula sebaliknya. Secara hukum, Presiden tidak dapat membekukan dan atau membubarkan DPR, hal ini sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 7C. Secara legal setelah tahun 1950 tidak ada wewenang yang dimiliki oleh Presiden untuk membubarkan DPR.

Namun desakan untuk membubarkan DPR yang sudah tidak mewakili kepentingan rakyat ini merupakan wacana yang merujuk pada sejarah yang membuktikan bahwa Presiden Soekarno telah pernah membubarkan Lembaga DPR hasil Pemilu 1955 yang saat itu disebut Konstituante melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit tersebut berisikan pembubaran Konstituante, berlakunya kembali UUD 1945, tidak berlakunya UUDS 1950 dan pembentukan MPRS.

Keberhasilan Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 adalah karena adanya dukungan penuh dari rakyat Indonesia.

Selain dari dukungan rakyat, dekrit Soekarno juga didukung oleh TNI Angkatan Darat, pada saat itu Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel AH Nasution langsung mengeluarkan perintah harian kepada seluruh anggota TNI-AD untuk mengamankan Dekrit Presiden. Dekrit Presiden Soekarno ini bahkan juga didukung oleh Partai yang saat itu di dukung oleh Militer, IPKI dengan 18 Partai radikal kecil kemudian menyatakan tidak akan datang pada sidang-sidang konstituante.

Dua partai besar saat itu PKI dan PNI bahkan ikut mendukung dan menyatakan hanya akan datang ke sidang Konstituante di Bandung dalam rangka pembubaran Konstituante.

Peluang Presiden Jokowi Membubarkan DPR?

Dukungan rakyat yang luar biasa kepada Presiden Jokowi seakan-akan tidak terbendung, hal ini terlihat dari antusiasme rakyat dalam menyambut kedatangan Jokowi ke berbagai daerah. Patut diduga, rakyat yang tidak memilih Jokowi sebagai Presiden pada saat Pilpres yang lalu saat ini telah berbalik mendukung Jokowi karena tontonan politik yang menggambarkan ada pihak yang tidak menerima kekalahan.

Bahkan dugaan tidak dilantiknya Jokowi sebagai Presiden telah sempat memicu isu akan adanya gerakan rakyat besar-besaran ke Senayan, bahkan hal ini kemudian dipercaya sebagai kekuatan yang memaksa Pimpinan MPR untuk melantik Jokowi.

Dengan modal dukungan rakyat yang luar biasa besar ini, ditambah dengan prilaku anggota DPR yang mempertontonkan kehausan mereka terhadap kekuasaan lebih tinggi ketimbang keinginan untuk mencari solusi atas persoalan rakyat, Jokowi bisa saja mengeluarkan Dekrit untuk membubarkan DPR yang tentu saja harus didukung oleh kekuatan Militer untuk melindungi dekrit tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Soekarno. Jika Jokowi mampu meyakinkan Militer untuk lebih memperhatikan dan berpihak kepada rakyat, dan dengan kenyataan politik bahwa DPR saat ini hanya digunakan sebagai alat untuk membagi-bagi kekuasaan dan anggaran negara, maka dapat diyakini Dekrit Jokowi nantinya akan berhasil membubarkan DPR hasil pemilu 2014.

Secara politik, jika Presiden Jokowi mengeluarkan Dekrit dan ditolak oleh DPR, maka skenario kedua bisa dilakukan untuk membubarkan DPR. Skenario tersebut adalah dengan meminta DPR tandingan versi KIH untuk melakukan rapat membubarkan DPR, dengan adanya keputusan pembubaran tersebut, Presiden Jokowi bisa memerintahkan KPU untuk mempercepat penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota DPR yang baru.

Dengan demikian, jika skenario kedua ini dilakukan oleh DPR Tandingan KIH, yang diikuti oleh Dekrit Presiden membubarkan DPR yang didukung oleh Militer, maka wacana untuk membubarkan DPR setidaknya bisa menjadi isu atau ancaman rakyat dalam menekan DPR untuk lebih memperhatikan kepentingan rakyat ketimbang gaduh dalam berebut kekuasaan.

Diposting 10-12-2014.

Mereka dalam berita ini...

Dossy Iskandar Prasetyo

Anggota DPR-RI 2014
Jawa Timur VIII

Patrice Rio Capella

Anggota DPR-RI 2014
Bengkulu

Syaifullah Tamliha

Anggota DPR-RI 2014
Kalimantan Selatan I

Abdul Kadir Karding

Anggota DPR-RI 2014
Jawa Tengah VI

Pramono Anung Wibowo

Anggota DPR-RI 2014
Jawa Timur VI