Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang merupakan program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dipertanyakan sebagian besar anggota Komisi X DPR. Soalnya, banyak kasus-kasus pemotongan dan rumitnya pengurusan di bank.
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PPP Reni Marlinawati dalam raker dengan Kemendikbud, Selasa (4/2) mengungkapkan, di daerahnya, Sukabumi, Jawa Barat, pengurusan BSM lewat bank lebih merepotkan ketimbang melalui kantor pos. Contoh kerepotan itu, ada penulisan salah huruf saja, pengurusannya harus diulang. Belum lagi ada ketentuan saldo sisa Rp 20 ribu di tiap rekening.
Jefriston Riwu Kore dari Fraksi PPP menimpali, soal saldo itu memusingkan di daerahnya, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Tiap bank menggunakan batasan angka yang berbeda. "Ada yang Rp 200 ribu, ada yang Rp 75 ribu. Suka-suka pegawai bank," katanya.
Pihak sekolah pun melakukan pemotongan dengan alasan ikut mengurus pengambilan BSM. "Akhirnya saya harus buat posko untuk pengaduan masyarakat," katanya.
Menurut Muchtar Amma dari Fraksi Partai Hanura, yang mempersulit dan memotong adalah para guru dan pihak sekolah sendiri. "Memang ada pemotongan dari sekolah dengan alasan untuk transportasi yang mengambil. Tapi menurut saya tidak diatur soal pemotongan uang transportasi ini," katanya.
Sunartoyo dari Fraksi PAN mengatakan, BSM seringkali dipersepsikan lain oleh para pejabat di daerah. "Banyak pejabat di daerah bilang, BSM ini bukan aspirasi anggota dewan, tapi langsung kebijakan pusat," katanya. Padahal, dengan penyaluran BSM ini, anggota dewan yang semula dinilai tidak memperjuangkan aspirasi masyarakat, kini dinilai bagus.
Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, pemberian BSM adalah personal dan bukan kolektif. Hingga Desember 2013, pemerintah mencairkan hingga Rp 6,37 triliun. Tahun ini pemerintah merencanakan pencairan pada pertengahan Maret.
Jefirston mengingatkan, "Pencairannya jangan sampai April. Soalnya bulan itu adalah akhir kampanye dan pileg."