Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia sedang mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang Makanan dan Obat (RUU POM). Tujuannya, demi memperkuat posisi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam mengawasi peredaran obat dan makanan di Tanah Air.
Kepala BPOM RI Penny K. Lukito menyambut baik adanya pembahasan RUU POM yang sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2019 - 2024. Bahwa dalam pengawasan obat dan makanan dibutuhkan payung hukum yang kuat, yakni Undang-Undang (UU).
"Mudah-mudahan berproses secara maksimal. Saya kira dukungan sudah banyak sekali terkait RUU POM ini. Tentunya Badan POM dengan segala tugas dan fungsi yang sangat strategis luas lingkupnya," terangnya saat ditemui Health Liputan6.com di sela-sela acara 'Open House BPOM' di Kantor BPOM, Jakarta pada Kamis, 12 Januari 2023.
"Dan ini membutuhkan kekuatan dan peningkatan kapasitas dari yang ada sekarang dan dibutuhkan kekuatan, terutama payung hukum yang utama adalah Undang-Undang."
Payung hukum UU yang dimaksud Penny, yakni aturan hukum yang sudah mencakup aspek dukungan pengawasan produk obat dan makanan dari hulu ke hilir. Mulai registrasi perizinan sampai penindakan.
"Karena di dalamnya ada aspek dukungan, mulai dari standar hulu hingga hilir. Lalu mulai dari registrasi perizinan, cara produksi produk yang baik, pengawasan hingga penindakan," jelasnya.
"Itu semua ada di RUU POM -- yang akan menjadi UU -- sehingga kami bisa lebih memperkuat lagi upaya yang dilakukan (dalam pengawasan produk obat dan makanan)."
Butuh Payung Hukum untuk Penindakan
Perihal penindakan, Penny K. Lukito mencontohkan, seperti kasus Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) pada obat sirup terkait gagal ginjal akut. Belajar dari kasus tersebut, BPOM membutuhkan payung hukum dalam penindakan kepada produsen atau industri farmasi dengan cemarang EG dan DEG yang melebihi ambang batas.
"Seperti kasus gagal ginjal itu kan karena ada kejahatan sehingga kekuatan Badan POM dalam penindakan perlu diperkuat suatu undang-undang juga, sehingga ada efek jera," bebernya.
"Termasuk pada saat mendampingi dan pengawasan terhadap suatu produk atau melakukan pengawasan di suatu wilayah. Kalau kami kuat, maka kami bisa lebih intensif lagi dengan SDM ditambah dan diperkuat, infrastruktur diperkuat, dan lainnya."
Selain itu, RUU POM yang dibahas supaya membuat BPOM lebih intensif mengawasi produk di seluruh pelosok negeri.
"Sekarang kami sudah melakukan (pengawasan) di 74 kota/kabupaten, tapi kami butuh dikuatkan karena luasnya negeri kita, kepulauan, geopolitik, perbatasan, dan sebagainya," ucap Penny.
"Badan POM perlu diperkuat tentunya melalui Undang-Undang dan saya kira legislatif sudah mendukung. Mudah-mudahan saya kira bisa berjalan dengan baik."
Kewenangan BPOM Dinilai Lemah
Harmonisasi Rancangan Undang-Undang Tentang Pengawasan Obat dan Makanan (RUU POM) kembali dibahas oleh Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) DPR RI untuk memperkuat posisi Badan POM (BPOM) dalam mengawasi peredaran obat dan makanan di Tanah Air.
Kewenangan badan tersebut saat ini dinilai lemah karena tidak memiliki otorisasi dalam mengawasi bahan baku obat dan makanan hingga tingkat kota dan kabupaten dan hanya baru sebatas memiliki kewenangan di tingkat provinsi.
Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi saat diwawancarai Parlementaria DPR usai memimpin Rapat Panja Harmonisasi RUU Tentang POM bersama Komisi IX DPR RI di Ruang Rapat Baleg, Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (10/1/2023) membenarkan adanya usulan dari Komisi IX DPR RI selaku pihak pengusul untuk memasukkan poin penguatan kelembagaan BPOM dalam harmonisasi RUU Pengawasan Obat dan Makanan tersebut.
“Karena, BPOM hari ini strukturnya baru sebatas sampai tingkat provinsi. Sementara, banyak juga persoalan terkait obat dan makanan di tingkat kecamatan dan kabupaten. Saya ambil contoh, misalnya ada penyalahgunaan makanan yang tidak sesuai standar dikonsumsi anak-anak SD," ujar Baidowi.
"Nah, siapa instansi yang bisa mengawasi sampai level SD? Kalau mengandalkan BPOM tidak mampu, karena kewenangan BPOM sementara hanya tingkat provinsi. Beda cerita, kalau BPOM itu sampai ke tingkat kabupaten maka ia akan bisa menjangkau pengawasan hingga lapisan terbawah."
Pengawasan Obat dan Makanan Tak Maksimal
Achmad Baidowi yang juga politisi Fraksi PPP lebih lanjut mencontohkan, ke depannya ia menginginkan BPOM memiliki struktur hingga tingkat kabupaten/kota sebagaimana Badan Narkotika Nasional (BNN) yang memiliki struktur Badan Narkotika Kabupaten (BNK).
Ataupun misalnya, seperti struktur yang dimiliki oleh aparat penegak hukum yang memiliki struktur hingga ke tingkat basis kabupaten, sehingga semakin memudahkan untuk melakukan tugas dan fungsi lembaga.
“Namun demikian, namanya tetap BPOM untuk tingkat kecamatan dan kabupaten/kota. Tapi strukturnya kita perbaiki dan kewenangannya kita tambah. Nanti dalam pembahasannya tentu akan ada diskusi dengan Pemerintah,"
"Bisa jadi draf yang dari DPR itu dipertahankan dan bisa juga draf dari DPR berubah ketika pembahasan, itu normal dalam sebuah pembahasan RUU,” pungkasnya, dikutip dari laman DPR RI.
Sebelumnya saat rapat, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh selaku pihak pengusul menyatakan pihaknya berharap adanya penguatan kelembagaan BPOM dalam harmonisasi RUU POM.
Terlebih lagi, selama ini BPOM baru hanya ada di tingkat provinsi dan tidak ada di tingkat kabupaten. Sehingga BPOM tidak punya tangan sampai ke tingkat bawah seperti pengawasan makanan anak-anak SD.
“BPOM selama ini bekerja sama dengan Dinas Kesehatan setempat di tingkat kabupaten/kota. Maka, otomatis Dinas Kesehatan tersebut memilki kewenangan lebih," papar Nihayatul.
"Unit pelaksana teknis BPOM yang disebut Loka POM baru ada 40 kantor di tingkat kabupaten/kota seluruh Indonesia hingga saat ini. Padahal, jumlah seluruh kabupaten/kota di Indonesia ada 500 lebih. Nah, hal ini menjadikan pengawasan pada obat dan makanan oleh BPOM tidak bisa maksimal."